Ch. 32: I'm yours

16.6K 1.7K 69
                                    

AKSA

Setelah hubunganku dan Amanda berakhir, aku cenderung menutup hati. Sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menjalin hubungan baru. Amanda memang bukan cinta pertama atau pacar pertamaku, tetapi untuk pertama kalinya, aku mulai serius memikirkan masa depan hubunganku. Setiap rencana masa depanku selalu ada Amanda di dalamnya. Sepanjang dua tahun kebersamaan kami, aku selalu mengusahakan yang terbaik untuknya sehingga perselingkuhan yang dia lakukan terasa tidak masuk akal dan sulit untuk kuterima.

Malam itu seharusnya seperti malam-malam biasanya—menghapus rindu terhadap satu sama lain melalui sambungan Skype. Seharusnya malam itu aku menenangkan Amanda yang selalu merengek karena rindu dan tidak puas melihatku hanya lewat layar laptop. Seharusnya malam itu kami berbahagia setelah aku memberikan kejutan kepada Amanda perihal keberangkatanku ke Melbourne yang dijadwalkan lebih cepat dari jadwal sebelumnya. Seharusnya malam itu bukan akhir dari hubungan kami. Sampai akhirnya, Amanda memberikan pengakuan yang sukses membuatku tercengang, berharap yang kudengar adalah lelucon yang biasa dia lakukan kalau sedang bosan dan butuh hiburan.

"I slept with someone. Aksa, I'm sorry. It just happened."

Aku ingat kala itu seluruh tubuhku langsung terasa kaku. Aku bahkan ragu jantungku masih berdetak semestinya. Meski beberapa detik telah berlalu sejak pengakuan itu keluar dari bibir Amanda, aku masih terdiam, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Namun, sepertinya Amanda salah mengartikan reaksiku. Bukannya menghentikan ucapannya, dia justru memberikan pengakuan lain.

"It happened one month ago. Aku homesick dan orang ini selalu ada buat aku. Dia orang Indonesia juga—dan dari awal kuliah di sini—jadi dia tahu dan ngerti apa yang aku rasain. Awalnya kami cuma beberapa kali makan bareng atau explore Melbourne kalau sama-sama nggak ada jadwal kelas. Beberapa kali dia nemenin aku ke bar kalau lagi suntuk, tapi aku berani sumpah awalnya nggak ada apa-apa di antara kami walaupun dia pernah menyatakan perasaannya ke aku," kata Amanda dengan tenang seolah dia sudah menyiapkan diri untuk momen ini berhari-hari. "But, someday, I drank too much. We were caught up in the moment, and when I woke up the next morning, it was too late. We slept together that night, but it was a mistake, Sa. Aku udah berusaha jauhin dia setelah itu karena aku merasa bersalah sama kamu, tapi dia masih ngejar-ngejar dan pas tahu kamu bakal lanjut kuliah di sini semester depan, dia mengancam aku, Sa. Dia mau kasih tahu ke kamu apa yang kami lakukan. Sa, aku tahu aku salah. Aku minta maaf."

Aku ingat, waktu itu aku sempat bertanya mengenai perasaan Amanda kepada laki-laki itu dan apakah mereka pernah melakukannya lagi setelah kesalahan satu malam itu. Meski tidak mengaku di awal, setelah berbagai desakan, barulah dia mengatakan itu bukan terakhir kalinya mereka tidur bersama.

And the next thing I knew, I broke up with her. Amanda meminta maaf berkali-kali dan berusaha memberikan penjelasan, tetapi semua penjelasan itu justru memperkeruh situasi karena di telingaku, apa yang dia katakan tidak lebih dari sekadar excuse.

Ketika dia menemuiku di bandara sebulan setelahnya, dia hanya mengulang semua yang pernah dia katakan. Berharap penjelasan itu bisa membuatku berubah pikiran. Sayangnya, keputusanku sudah bulat. Aku sudah tidak mau memiliki hubungan apapun dengannya. Not only because she slept with someone else, but because she cheated. She cheated on me and for one month after she slept with another man, she lied on me—pretended like nothing happened and acted like she never made mistakes.

Minggu-minggu awal di Melbourne bukanlah minggu yang mudah. I was heartbroken. Belum lagi masalahku dengan Luna yang tidak menemukan titik terang. Selain patah hati karena Amanda, rasa bersalah karena telah menyakiti Luna ikut menggerogoti hatiku. Belum lagi, dua minggu setelah aku menginjakkan kaki di Australia, Papa dirawat di rumah sakit karena penyakit jantung yang dideritanya. Dan hal itu semakin membuatku kesulitan untuk beradaptasi di lingkungan baru. Aku sibuk melupakan Amanda dan Luna serta mengkhawatirkan kondisi Papa yang tidak kunjung membaik.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt