Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?

14.3K 1.9K 38
                                    

LUNA

Aku melupakan suatu hal yang penting ketika menyetujui ajakan Lisa untuk mengantar kepergian Adam ke Australia. Aksa juga mengikuti penerbangan yang sama dengan Adam. Langkah kakiku nyaris terhenti saat akhirnya aku menemui sosoknya lagi setelah dua minggu berlalu. Beberapa hari terakhir, Aksa mencoba menghubungiku tetapi aku mengabaikannya. Setelah apa yang dia lakukan, dia mengirimkan pesan seolah tidak ada masalah terjadi di antara kami. Dan sikapnya itu membuatku semakin meradang. Kesal.

Setelah menyapa Aksa yang dikelilingi orang tua dan adik laki-lakinya, Lisa berlari ke arah Adam dan keluarganya. Pacaran selama bertahun-tahun membuat Lisa mengenal dekat orang tua Adam, apalagi Adam anak tunggal. Aku menggelengkan kepala begitu melihat Lisa mendekap pacarnya dengan erat. Detik kemudian, aku mendengar isakan pelan.

"Di mobil bilangnya nggak mau nangis," ujarku, meledek.

Aku berusaha mengabaikan tatapan Aksa yang melekat kepadaku. Tanpa berniat untuk menghampirinya yang berdiri tidak jauh dari Adam dan keluarganya, aku menyapa kedua orang tua Adam. Beberapa detik setelahnya, kami sudah terlibat obrolan ringan hingga aku mendengar isakan tangis Lisa semakin terdengar kencang.

Aku mendesah ketika Lisa masih tidak mau melepaskan Adam. "Lis, nanti juga kalian ketemu lagi di Australia."

"Kita ada di bagian negara yang berbeda, Lun!" keluh Lisa. Dia mengurai pelukannya dengan Adam tetapi tangannya masih melingkar di pinggang kekasihnya itu. Matanya memerah. "Lo nggak tahu rasanya LDR-an kayak gimana."

"Malu dilihatin Om dan Tante," balasku seraya melirik orang tua Adam—yang sebenarnya sama sekali tidak keberatan dengan apa yang dilakukan Lisa. Justru, orang tua Adam hanya tersenyum maklum.

"Dari SMA bareng terus tuh, Lun," sahut ayahnya Adam dengan penuh gurauan. Aku memang bisa dikatakan cukup dekat dengan orang tua Adam mengingat ketika SMA, aku terpaksa mengekori Lisa setiap bertamu ke rumah Adam. "Makanya sekalinya kepisah langsung galau. Sejak balik dari Malang, Adam juga butek banget pikirannya."

"Kalau tiba-tiba Adam minta uang bulanannya ditambah, kita bisa nebak ya, Om, uangnya buat apa," ujarku yang ditanggapi dengan gelak tawa dari orang tua Adam sedangkan Lisa hanya mencebik.

Kembaranku itu kembali menyembunyikan wajahnya di dada Adam.

"Lis, jangan kayak begini, dong," ucap Adam muram. Tangannya bergerak mengelus punggung Lisa. "Aku jadi berat ninggalinnya kalau kayak gini."

"Emang harus berat, Dam!" cetus Lisa dengan suara yang agak teredam. Detik kemudian, dia mendongak. "Kalau kamu nggak merasa berat, aku jadi curiga jangan-jangan ada yang nunggu kamu lagi di Melbourne."

Adam mendengus lalu menyentil kening Lisa. "Sembarangan! Selama ini aku ditempelin mulu sama kamu. Gimana bisa nyari yang lain?"

Lisa merengut. Dia mengambil satu langkah ke belakang. Tangannya menyilang di depan dada. "Kepikiran buat nyari yang lain emangnya?"

Bola mata Adam membulat, terlihat panik setelah mengetahui dia salah berbicara. Sontak, Adam menarik tangan Lisa untuk membawa gadis itu ke pelukan untuk kesekian kalinya. "Nggak, lah. Only you. Always you."

Astaga. Pasangan ini memang kebanyakan drama. Aku menoleh untuk melihat reaksi orang tua Adam. Entah karena mereka sudah menjalin hubungan bertahun-tahun atau ada alasan lain, orang tua Adam sama sekali tidak merasa terganggu dengan kehadiran Lisa. Mereka tersenyum hangat sambil sesekali berbisik entah membicarakan apa. Namun, dilihat dari raut wajahnya, aku bisa menebak mereka tidak membicarakan hal yang buruk.

"So, you don't want to say good bye?"

Suara itu terdengar seiring dengan tepukan pelan di bahuku. Tanpa membalikkan tubuh, aku tahu siapa yang berbicara. Damn. Aku sengaja tidak menghampirinya karena aku tidak ingin terlibat dalam perbincangan apa pun dengannya, tetapi kenapa dia malah mendekatiku, sih?

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now