Ch. 10: I can explain

15.2K 2K 109
                                    

LUNA

"Lun, masih marah?" Lisa bergelayutan di lenganku ketika mobil jeep berhenti di Bukit Teletubbies. Aku sudah melepas coat, syal, dan sarung tangan karena merasa gerah setelah menanjak untuk melihat kawah. "Maaf, Lun. Gue nggak bermaksud begitu."

Aku pura-pura melirik kembaranku itu dengan sinis. "Menurut lo?"

Lisa menggerakkan lenganku seperti anak kecil yang sedang merajuk. Sejak matahari terbit, dia dan Adam muncul lagi di hadapanku. Entah dari mana mereka datang karena aku tidak dapat menangkap keberadaannya.

Tidak tega dan mulai merasa risih menghadapi Lisa yang clingy, aku mengangguk pasrah. "Gue maafin."

Bola mata Lisa berbinar. Detik kemudian, dia langsung mendekapku erat. "Lo emang kembaran terbaik!" serunya.

Aku menggumam sebagai bentuk tanggapan atas pernyataannya. Dengan langkah ringan beriringan, aku dan Lisa menghampiri rombongan yang sudah terpencar berhamburan untuk berfoto ria. Lisa meninggalkanku begitu saja ketika matanya menangkap kehadiran Adam tidak jauh dari kami. Aku hanya mampu mendengus pelan melihat sikapnya.

Dari jauh, Adam melambaikan tangan singkat kepadaku. Mungkin dia sudah tahu kalau aku memaafkannya dan Lisa karena apa yang mereka perbuat dini hari tadi. Aku mengedikkan dagu untuk membalas lambaian tersebut. Beberapa saat setelahnya, pasangan itu sibuk berpose ala-ala candid dengan hamparan padang rumput hijau sejauh mata memandang. Tidak lupa dengan Kevin sebagai fotografer mereka. Sedangkan Haris dan Dinda tenggelam dalam obrolan dengan mata terpaku pada pemandangan yang ada di sekitar.

Aku tersenyum ketika mataku dan Aksa bertemu. Laki-laki itu tidak ragu untuk meninggalkan teman-temannya dan menghampiriku yang sedang berdiri menyandar pada bebatuan besar.

Sepertinya selama liburan, Aksa yang lebih sering menemaniku dibandingkan Lisa.

"Nggak mau foto, Lun?" tanya Aksa. Dia menempatkan dirinya di sampingku. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam hoodie berwarna biru dongkernya. "Taruhan sama gue. Sebentar lagi pasti Lisa ajak lo foto."

"Males. Nurutin Lisa foto itu nggak akan ada habisnya, Sa," keluhku. "Lo nggak foto-foto? Siapa tau keluarga lo penasaran lo lagi di mana sekarang."

Selang dua detik setelah aku berbicara, Aksa menarik ponselnya keluar dari kantong celananya. "Nyokap gue kayaknya punya indra keenam. Tahu kalau lagi diomongin," ujar Aksa seraya menunjukkan layar ponselnya.

Aku tertawa saat melihat kontak bernama Mama memenuhi layar ponselnya. Ibunya Aksa bukan hanya menelepon, tetapi melakukan video call. Aksa menggelengkan kepalanya. Ibu jarinya bergerak cepat untuk menerima video call tersebut.

"Abang!" Telingaku langsung menangkap suara lengkingan yang cukup kencang. "Kirain udah kepincut sama cewek Malang makanya nggak hubungi Mama sama sekali."

Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan tawa. Aksa menerangkan brightness ponselnya sehingga aku dapat melihat seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek dan wajah lembut keibuan memenuhi layar ponsel laki-laki itu.

"Maunya juga begitu, Ma, tapi dari kemarin ketemunya pasti orang Jakarta lagi," gurau Aksa.

Ibunya Aksa memicingkan mata. "Kamu mainnya kurang jauh, sih. Explore makanya, Bang. Pasti perginya cuma ke tempat mainstream yang lagi hits."

"Ma, aku kan, perginya rombongan. Nggak sendirian," timpal Aksa. "Kenapa telepon?"

"Mau telepon Abang sekarang harus ada alasannya?" balas ibunya Aksa dengan sengit.

Aku tidak mampu menahan tawa lebih lama ketika melihat raut wajah Aksa yang kebingungan. Ketika tawa kecil lolos dari bibirku, Aksa menoleh. Aku meringis kemudian memberikan gestur kepada laki-laki itu untuk melanjutkan obrolannya.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now