Ch. 9: Before sunrise

15.2K 1.9K 45
                                    

LUNA

Aku tidak tahu sudah berapa lama tertidur, tetapi kelopak mataku sulit sekali untuk dibuka ketika Aksa mengguncang pelan tubuhku. Aku mengerjapkan mata untuk menyesuaikan pandangan seraya meregangkan tubuh. Mobil jeep ini penuh terisi empat orang sehingga aku tidak bisa leluasa bergerak ataupun meluruskan kakiku.

"Udah sampai, ya?" tanyaku, masih menguap sesekali. Aku mengucek mata. "Sekarang jam berapa, Sa?"

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Supir jeep yang membawa kami menuju Gunung Bromo sudah menghilang. Mesin mobil juga sudah dimatikan. Adam dan Lisa juga sudah tidak duduk di hadapanku. Pintu belakang mobil kini juga sudah terbuka lebar.

"Jam tiga pagi," timpal Aksa.

Aksa melompat kecil untuk menuruni mobil. Dia mengulurkan tangannya kepadaku. Mengerti maksud dari gesturnya, aku menyambutnya dan keluar dari mobil.

Suhu dingin di Gunung Bromo langsung menusuk tulangku ketika aku menginjakkan kaki di tanah bebatuan yang tidak begitu rata. Sekitar jam sebelas malam tadi, kami berangkat menuju alun-alun kota Malang karena di sanalah titik temu kami dengan travel agency yang mengurus keberangkatan menuju Gunung Bromo. Sepanjang perjalanan, aku tertidur kelelahan karena tidak sempat memejamkan mata sedetik pun setelah pulang dari Museum Angkut jam lima sore.

"Yang lain ke mana?" tanyaku seraya merapatkan coat yang kupakai.

"Itu mereka nunggu di depan," sahut Aksa seraya menunjuk rombongan lain yang berjarak tidak lebih dari lima ratus meter dari kami.

Aku telah memakai turtleneck dilapisi sweater lalu ditumpuk lagi dengan coat tetapi masih saja merasa kedinginan. Toleransi tubuhku terhadap suhu dingin memang serendah itu. "Dingin nggak sih, Sa?"

Aksa mengalihkan pandangannya kepadaku dengan kening yang berkerut. "Lo kedinginan?"

Aku mengembuskan napas. Aku tidak tahu berapa suhu di Gunung Bromo pada dini hari, tetapi uap yang muncul dari mulut dan hidungku ketika aku bernapas sudah memberikan jawaban yang jelas. Entah kenapa aku menyesal karena tidak mendengarkan peringatan Lisa untuk membawa sarung tangan atau syal.

Tidak kuat dengan rasa dingin yang melingkupi tubuh, aku memasukkan kedua tanganku ke dalam kantung coat lantas merapatkan tubuhku ke Aksa. Aku tidak mengerti setinggi apa toleransi laki-laki itu terhadap suhu yang rendah, tetapi dilihat dari tubuhnya yang tidak begitu menggigil meskipun bajunya tidak berlapis-lapis seperti diriku, aku bisa menyimpulkan kalau dia bukan orang yang mudah kedinginan.

"Sedikit," cicitku dengan suara yang agak bergetar.

Seketika Aksa melepaskan syal yang dia pakai kemudian melilitkannya di leherku. Mungkin pipiku sudah bersemu karena tindakannya yang tidak sempat kuprediksi itu.

"Bilang ke gue kalau masih dingin," pinta Aksa. Sorot matanya menunjukkan kecemasan yang begitu kentara. "Nanti kita beli sarung tangan atau apa pun itu. Tadi juga kalau nggak salah Kevin bawa hoodie cadangan."

Aku menganggukkan kepala dengan kaku. Sekujur tubuhku rasanya begitu sulit untuk digerakkan, terasa beku. Aksa menghela napas kemudian menaruh tangannya di sekitar pundakku seraya berjalan menuju anak-anak lain yang sudah menunggu kami.

"Woi! Gue tahu ini dingin banget, tapi nggak perlu modus kali," celetuk Haris jahil ketika aku dan Aksa baru menghampiri rombongan yang lain. "Apaan coba pake rangkulan segala? Lis, lihat tuh, Lis! Kembaran lo dimodusin."

"Modus dari mana!" sembur Aksa kesal. Dia menatap sahabatnya dengan sengit. "Ini anak orang kedinginan sampai menggigil begini. Lo pura-pura nggak lihat atau emang nggak bisa lihat beneran?"

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now