Ch. 13: It's been a long time

15.5K 2.1K 56
                                    

LUNA

Sejujurnya, aku sudah memikirkan berbagai macam skenario masa depanku.

Di mana salah satunya mengantar kembaranku untuk memasuki fase kehidupan baru yang bernama pernikahan. Dalam bayangan imajinasiku, aku akan sibuk membantu Lisa menyiapkan pernikahannya. Mulai dari hari pertunangan hingga malam puncak saat resepsi pernikahan.

Aku selalu percaya diri kalau aku tidak akan menangis ketika Adam selesai melakukan ijab kabul. Namun, air mata yang jatuh dari pelupuk mata ketika MC mengatakan bahwa Lisa dan Adam sudah resmi menjadi sepasang suami istri membuatku tersadar kalau aku tidak sekuat itu untuk tidak menangis di hari bahagia kembaranku sendiri. Papa dan Mama juga beberapa kali mengusap air mata sebelum merusak make up hasil pekerjaan tangan MUA yang disewa seharian penuh.

Aku sudah ingin menghampiri Lisa yang sedang break sambil menunggu waktu touch up sebelum para tanteku datang mencegatku. "Tante," sapaku kepada dua tanteku dengan senyum penuh paksaan. "Apa kabar, Tan? Udah lama nggak ketemu."

"Baik, Lun. Kamu gimana kabarnya? Aduh, kok semakin kurus aja sejak balik dari Jerman," keluh salah satu tanteku. "Kamu kapan mau nyusul Lisa? Umurmu udah dua puluh delapan lho, Lun. Perempuan nggak baik kalau menikah terlalu tua."

Seperti biasa, aku hanya bisa tersenyum kaku mendengarnya. "Nggak dalam waktu dekat, Tante. Aku baru mau mulai kerja lagi dan butuh adaptasi di lingkungan baru."

"Aduh, Luna, kamu itu kejar apa, sih?" tanya tanteku yang lain. "Ambisimu itu, lho. Harus lebih dikendalikan lagi. Mau sampai kapan kamu kejar karier terus? Lagi pula, perempuan yang punya karier dan pendidikan terlalu tinggi juga nggak baik. Laki-laki bisa minder, Luna."

Entah sudah berapa kali aku mendengar perkataan yang sama dari kedua tanteku ini. Setiap bertemu mereka, pembicaraan selalu berputar pada pernikahan serta petuah dan kritik-kritik yang mereka sampaikan atas keputusan hidupku. Mereka juga mengatakan hal yang sama sebelum aku pergi ke Jerman untuk mengambil studi magister. Umurku kala itu sudah dua puluh lima dan mereka berpikir keputusanku pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikanku akan menghalangi jalanku untuk bisa menikah.

"Terlalu sibuk sama pekerjaan juga nggak baik, Lun." Tanteku memulai petuahnya lagi. "Nanti kamu jadi nggak punya waktu buat pacaran. Lama-lama jadi semakin terbiasa sendiri. Kalau sudah begitu, pasti sudah susah kalau mau memulai hubungan."

"Aku bisa mengatur waktuku dengan baik, Tan," ucapku penuh penekanan, tidak tahan lagi untuk terus berdiam diri padahal baru lima menit pembicaraan ini berlangsung. Tanpa menunggu mereka berbicara, aku lebih dulu menyela. "Aku duluan ya, Tan. Mau samperin Lisa dulu ke ruang rias."

Napasku baru bisa berembus normal ketika kakiku sudah melangkah menjauhi kedua tanteku yang masih mengomentari pilihan hidupku. Seiring dengan kaki yang terus melangkah, batinku terus memberikan kalimat-kalimat penenang untuk diriku sendiri. Ini adalah hari yang baik. Hari bahagia untuk keluargaku. Aku tidak ingin suasana hatiku yang berantakan berkat tanteku merusak kebahagiaan ini.

"Wow. Look at you!" Aku terperangah ketika memasuki ruang rias dan melihat Lisa sedang duduk di depan cermin, meneliti riasannya. "I can't believe you are officially a wife now!"

Aku berjalan mendekati Lisa dan memeluk kembaranku itu dari belakang dengan erat. Sedikit berhati-hati karena aku tidak ingin merusak riasannya ataupun tatanan rambut indahnya. Lisa memegang kedua lenganku yang melingkar di sekitar pundaknya. Berbagai kekalutan yang singgah di pikiran Lisa dan menyebabkan wajah wanita itu kusut sepanjang pagi menghilang tepat setelah Adam selesai mengucapkan ijab kabul. Sejak saat itu juga, senyum lebar terpatri di wajahnya.

"Umur gue udah dua puluh delapan tahun. Pacaran sama Adam udah lebih dari sepuluh tahun," komentar Lisa. "Apalagi yang gue cari?"

Melalu cermin, aku melihat Adam yang berdiri memperhatikan interaksi kami di belakang hanya mampu mengulum senyumnya. Sebenarnya, aku ingin mengatakan berbagai macam petuah kepada laki-laki itu mengingat dia akan menjadi orang yang akan menemani Lisa di sisa hidupnya, tetapi semua perkataan yang melintas di pikiranku tertelan kembali tanpa sempat aku ucapkan. Aku tahu tanpa wejangan dariku, Adam tidak akan melakukan hal yang dapat melukai Lisa.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang