Ch. 34: Things will happen when it has to happen

14.2K 1.4K 59
                                    

LUNA

Aku sadar akhir-akhir ini tidak hanya pola makanku yang berantakan, tetapi pola tidurku juga. Pekerjaan hampir menyita seluruh waktuku, pressure dan ekspektasi tinggi dari Mas Jero mau tidak mau harus membuatku bekerja sepuluh kali lipat lebih keras untuk memenuhinya. Sejak kembali dari cuti menikah, entah kenapa Mas Jero seperti dikejar sesuatu karena ingin semua laporan proyek-proyek yang kami pegang selesai dengan cepat. Katanya, mengejar extramiles.

Sejak menginjakkan kaki di kantor pagi ini, aku sudah merasa ada yang salah dengan tubuhku. Oh, lebih tepatnya, beberapa hari terakhir tubuhku seperti sedang mengajukan demo massal serta protes tiada henti karena terlalu diforsir hebat.

"Lun, coba gue mau lihat kerjaan lo." Mas Jero mendadak sudah berada di dekatku, menarik kursi entah punya siapa dan mengambil mouse, menggulir hasil analisaku atas prakiraan dampak penting hipotik. "Debu dan penurunan kualitas udara... ini perhitungan volume gas buang atas mobilisasi peralatan dan material dicek ulang, ya. Jangan sampai ada yang salah hitung."

Aku mengangguk sigap. "Oke, Mas."

"Suara lo kenapa lemes banget? Tumben," komentar Mas Jero seraya menengok sekilas ke arahku. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Mas Jero sudah menambahkan beberapa komentar terkait pekerjaanku. "Ini luas wilayah persebaran dampaknya menurut gue cukup luas dan sifatnya juga kumulatif, jadi dampaknya termasuk kategori penting. Nanti diganti, Lun."

Lagi-lagi, aku membeo. "Iya, Mas."

Mas Jero masih memberikan review penting terkait hasil pekerjaanku selama beberapa menit sebelum dia kembali ke ruangannya untuk menyiapkan bahan meeting dengan atasan. Sebelum pergi dia sempat berpesan, "Abis ini lo istirahat dulu, deh. Pulang tenggo aja, nggak usah lembur. Muka lo pucat banget. Gue ngeri lo pingsan."

Yang dengan cepat, langsung kuiyakan karena minggu ini jarang sekali aku bisa pulang di bawah jam sembilan malam. Aku segera mengirimkan pesan kepada Aksa, mengatakan bahwa aku pulang tepat waktu hari ini dan balasan darinya datang tidak lama kemudian. Tepat ketika jam menunjukkan pukul enam sore, mobil Aksa sudah terparkir di area pick up kantorku.

"Hai," sapaku lemah ketika memasuki mobilnya. Aku mengembuskan napas seraya memijat pelipis. Kepalaku terasa pusing dan ingin meledak sejak makan siang. Dengan lesu, aku menarik safety belt melewati tubuh, menurunkan sandaran jok, dan menyandarkan kepala pada pintu, berharap hal itu dapat menghilangkan sensasi pusing yang kualami beberapa jam terakhir.

"Sakit?" tanya Aksa dengan mata yang menyipit. Dia memiringkan tubuhnya. Tiba-tiba, tangannya terjulur menyentuh keningku. "Kamu sakit," desisnya, mengonfirmasi. "Badan kamu panas banget dan kamu keringetan. Udah sejak kapan begini?"

"Tadi siang," jawabku singkat seraya memejamkan mata. "Aku mau tidur dulu, Sa. Kepalaku pusing banget. Nanti bangunin aku kalau udah sampai di apartemen."

Hal terakhir yang kudengar sebelum tidur terlelap adalah decakan kesal dari Aksa seiring dengan mobil yang mulai melaju. Aku tidak tahu sudah berapa lama tertidur karena ketika Aksa mengguncang pelan tubuhku, aku merasa belum lama tidur nyenyak. Aku mengerjapkan mata, berusaha menyesuaikan pandangan. Ketika melihat sekitar, aku merasa asing dengan lingkungannya. Ini jelas bukan parkiran apartemenku.

"Ini di mana?" tanyaku bingung, seraya berusaha menegakkan tubuh. Aku merintih pelan ketika rasa mual mulai menyergapku. Aku menutup mulut, berusaha menahan diri untuk tidak muntah di mobil Aksa. "Sa, ada plastik?"

Aksa langsung membongkar dashboard dan menyerahkan satu plastik hitam kepadaku. Detik kemudian, dia keluar dari mobil, membuatku sedikit heran. Awalnya, aku mengira dia keluar karena tidak ingin mencium bau muntahanku memenuhi mobilnya, tetapi dugaanku salah karena Aksa justru berjalan memutari mobil dan membuka pintu mobil di sisiku.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now