Ch. 4: Moderated caucus

18.1K 2.1K 26
                                    

LUNA

"Gimana duduk sama Aksa selama perjalanan?" tanya Lisa seraya memeluk gagang koper ketika kami sedang menunggu taksi yang akan mengantar ke penginapan. "Anaknya asik, kan?"

Aku mengangguk singkat. "Lumayan."

"Aksa yang paling lumayan kalau dibandingin sama yang lain," komentar Dinda. Dia menyengir manis. "Kevin nggak terlalu banyak omong apalagi sama orang baru sedangkan mulut Haris itu nggak ada rem dan terlalu sampah. Lo bisa shock kalau duduk sama mereka."

"Shock dalam artian yang berbeda." Lisa mengangkat kedua tangannya dan membuat tanda kutip dengan jari-jarinya. "Lo bisa gigit jari karena Kevin pasti diemin lo sepanjang jalan atau lo bisa capek nanggepin Haris yang terlalu bawel sampai lo nggak punya waktu buat napas. So... yeah, Aksa lebih normal dibandingkan mereka."

Ha. Normal? Aku mendecak. Mereka tidak tahu saja kalau selama empat belas jam aku berusaha untuk tetap waras dan tidak melambung ke langit ketujuh karena sikap manis Aksa. Belum lagi mulutnya yang begitu lancar melayangkan berbagai macam pick up lineyang kalau kutonton di film atau kubaca di novel terlalu cringe dan berhasil membuatku bergidiktetapi, kalau Aksa yang mengatakannya terasa pas, tidak berlebihan.

Manik mataku langsung berlari untuk mencari sosok Aksa yang agak tertutupi oleh punggung Haris dan Adam. Begitu aku berhasil menangkap bayangannya, aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Pikiranku melayang, berusaha mencocokkan definisi normal yang diberitahu Lisa dan Dinda dengan kepribadian Aksa.

Normal? Tanpa kusadari, aku mengulang pertanyaan itu di dalam hati.

Aku tidak mengerti kenapa Lisa dan Dinda bisa mengatakan kalau Aksa itu lebih normal dibandingkan Haris dan Kevin. Jelas sekali laki-laki itu jauh dari kata normal. Aku mendengus. Pantas saja mereka bisa berteman. Mereka semua gila dengan caranya masing-masing.

"Tapi, mulutnya Aksa agak kurang ajar juga, sih," celetuk Lisa. Aku sontak menoleh ke arahnya dan mendapati dia sedang melihat ke arah Aksa. "Kadang kalau dia lagi ngomong, tuh, gue nggak paham niatnya itu mau menyindir halus atau emang mau ledekin doang."

"Duh!" pekik Dinda cepat. "Setuju banget!"

Aku tidak bisa menahan tawa ketika melihat wajah Dinda yang terlalu dramatis. "Ini kita ngomongin Aksa di depan orangnya banget, nih?"

Lisa mengibaskan tangannya, tidak peduli. "Dia sendiri juga sadar kalau dia emang begitu. Telinganya juga kayaknya udah tuli karena kita protes mulu soal cara bicaranya."

Aku kembali menatap Aksa yang sedang mengobrol bersama teman-temannya yang lain. "But, he is nice. Dia teman ngobrol yang seru."

"Emang, tapi kalau mengingat karakter lo dan cara lo bicara, seharusnya lo sama dia nggak secocok itu, sih." Lisa menyenggolkan bahunya kepada bahuku, menggoda. "Mulut lo sama dia kan, kurang lebih sama. Yang satunya suka menyindir halus, yang lainnya terlalu terus terang. Kalian nggak berantem kan, selama di kereta?"

Sepertinya Aksa merasa kalau dirinya diperhatikan sehingga dia mengalihkan tatapannya dari teman-temannya. Sepersekian detik kemudian, pandangan kami beradu. Damn. Rasanya aku kehilangan orientasi waktu ketika manik mata milik Aksa terpaku kepadaku. Aksa entah berbicara apa dengan yang lainnya karena setelah itu, para laki-laki tiba-tiba melangkah mendekati kami.

"Kalian ngomongin apa?" tanya Adam lembut seraya mengusap puncak kepala Lisa. "Kayaknya seru banget."

"Ngomongin soal Aksa."

Bola mataku membulat begitu mendengar jawaban itu keluar dari mulut Lisa dengan ringan. Aku menengok ke arah Lisa dan memberikannya tatapan penuh peringatan. Namun, entah Lisa tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti, dia kembali membuka suara.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora