impressed

1.2K 181 112
                                    

Rasanya, dunia hanya berporos pada satu titik, satu nama yang kini terancam menetap hingga sulit untuk dilepas dan dilempar jauh dari lubuk hati. Sosok yang tanpa disangka, bisa menjadi objek yang tidak terlepas dari ruang mata. Kini yang ia inginkan untuk pergi dari sisi, menjelma menjadi sosok yang tidak akan sanggup terpikirkan jika mematahkan hati.

Wonwoo kini sadar jika senyum Jiyeon adalah senyum yang ingin ia lihat. Suara manja tanpa nada genit itu entah sejak kapan menjadi irama merdu yang membuat candu. Dan binar mata jernih milik Jiyeon seolah lebih ia butuhkan daripada bulan dengan taburan bintang yang menghiasi langit malam.

"Chan mau disuap kak Jiyeon, boleh?"

Wonwoo melirik bocah laki-laki yang duduk dengan senyum yang ditebar sepanjang pertemuan mereka, tidak pernah luntur meski tidak sekali pun ia lihat Jiyeon membalasnya.

"Chan." Eunjo terdengar memperingatkan putra kecilnya itu. "Dengan ibu saja ya?"

Terlihat raut kecewa Chan, kendati senyum cerianya masih dikembang terpaksa. Mata sipit itu melirik Jiyeon yang kini malah meletakkan sendok dan meraih gelas berisi air putih untuk diteguk.

Decitan kursi membuat semua atensi teralihkan pada Jiyeon yang tiba-tiba berdiri. Membungkuk enggan dan berlalu pergi.

Helaan napas Seungcheol pun mengudara seiring langkah kaki Jiyeon yang semakin menjauh dari meja makan. Semua jelas terasa, jika Jiyeon sampai detik ini masih belum bisa menerima keluarga barunya.

Di ujung meja, Seungcheol memaku tatapannya. Seolah berbicara melalui mata sendunya yang menahan Wonwoo lebih lama di meja makan. Hari ini, lapisan demi lapisan yang Jiyeon coba tutup rapat sedemikian rupa, mulai terlepas perlahan dan terkuak tanpa bisa dicegah. Wonwoo mulai mengerti, sisi lain Jiyeon yang membuatnya ikut merasa sedih. Lantaran diusia yang masih remaja, Jiyeon menempuh semua dengan sifat pembangkangnya. Sebagai topeng sempurna yang ia pasang agar orang-orang di luaran sana tidak mengetahui kecacatan yang dialami keluarga kecilnya.




"Dingin sekali," ujar Wonwoo memancing atensi Jiyeon yang diam sedari tadi. Bahkan saat Wonwoo mulai mendaratkan bokongnya pada kursi di sebelah gadis itu. Perhatiannya tersedot sepenuhnya pada hamparan langit kelam di atas sana. "Tidak ingin ke dalam? Kau belum memberitahu di mana kamarku."

Wonwoo melihat begitu banyak pertentangan yang kini berkecamuk dalam diri Jiyeon melalui tatapan gadis itu yang kini beradu dengan matanya. Pria itu mengumbar senyum tipis, kini Jiyeon tidak lagi menutup semua akses yang bisa Wonwoo masuki. Jiyeon tidak lagi bersembunyi dibalik sifat bar-barnya.

"Kau berani mengajakku ke sini, berarti kau juga siap jika aku masuk lebih dalam lagi tentang kehidupanmu."

Hembusan angin menyapu permukaan kulit saat jeda waktu yang cukup lama. Terjadi hening yang entah mengapa terasa nyaman bagi keduanya. Meski Wonwoo masih menunggu Jiyeon membuka suara.

"Kau tahu? Memiliki keluarga yang bahagia, perhatian orangtua, kasih sayang dari ayah mau pun ibu, itu impian semua anak-anak. Kita menaruh ekspektasi begitu besar terhadap orangtua kita. Jadi saat semua tidak sesuai dengan yang kita harapkan, rasa kecewa mengambil alih hingga ingin menyalahkan orangtua begitu besar mendorong kita." Wonwoo memutar tubuhnya, mengambil tangan Jiyeon di pangkuan dan membawanya untuk digenggam kedua tangan.

"Aku tahu kau masih menyalahkan ibumu, bahkan kau juga menghukum ayahmu. Itu wajar, bukankah kita memang tidak pernah siap saat orangtua kita sendiri yang menghancurkan kebahagiaan kita? Tapi bukan itu point-nya ... apa tidak cukup dengan kasih sayang ayahmu saja? Bahkan sekarang kau memiliki ibu yang tulus dan seorang adik yang begitu lucu. Kenapa tidak bisa terima?"

"Kau tidak akan mengerti—"

"Maka dari itu, aku butuh kau untuk terbuka, semuanya. Bagaimana aku bisa mengerti jika kau sendiri yang menutup diri?" potong Wonwoo.

Redamancy✔Where stories live. Discover now