evade

1.2K 175 63
                                    

"Jangan pergi," ujar Jiyeon. Tanpa melirik atau dengan nada merengek seperti biasa. Ia tidak meminta, lebih tepatnya Jiyeon membuat pilihan di sana. Sepenting apa Jieun hingga Wonwoo diharuskan ada di sisi gadis itu saat ayahnya jatuh sakit? Kenapa harus Wonwoo? Hanya itu yang menjadi pertanyaan besar di kepala Jiyeon yang sudah terlanjur pusing.

Wonwoo mengurungkan niatnya untuk berdiri dari kursi, memutar duduknya sedikit agar berhadapan dengan Jiyeon yang enggan membalas tatap. Tangannya menyentuh bahu Jiyeon, meminta perhatian gadis itu barang sejenak.

"Jiyeon."

"Ada orang lain yang bisa menemaninya, kenapa harus kau?" tanya Jiyeon tidak terima.

Wonwoo mengerti jika kini Jiyeon tersulut emosi, namun di sisi lain, ia merasa perlu membantu Jieun karena gadis itu tidak punya siapa-siapa selain ayahnya. Jieun pun sama sekali tidak memiliki teman selain dirinya. Jadi cukup sulit baginya jika Jiyeon membuat pilihan saat ini.

"Jieun tidak punya keluarga lain selain ayahnya di sini, kau tidak kasihan?"

Jiyeon tertawa sinis dengan bola mata yang merotasi malas. Selama ini pun Jiyeon hidup sendiri, beruntung Jieun yang setiap hari bisa bersama ayahnya sendiri. Sedangkan Jiyeon harus puas dengan kunjungan sang ayah beberapa kali dalam sebulan. Hanya saja ia menutupi itu dari semua orang, ia tidak ingin dipandang menyedihkan, apalagi diberi tatapan kasihan.

"Kau akan tetap pergi, bukan?" Sangat menyakitkan jika posisinya tidak pernah benar-benar berada dalam pilihan. Sementara Wonwoo selalu menjadi yang utama tanpa perlu disandingkan dengan banyaknya pilihan.

"Kau marah? Kau bisa ikut denganku. Jieun pasti juga akan senang jika kau ikut mengunjunginya."

Tatapan Jiyeon begitu datar, Wonwoo tidak bisa lagi membaca mata gadis itu. "Pergilah. Sekali pun kularang, kau akan tetap pergi. Aku juga butuh waktu untuk sendiri." Biarkan Jiyeon egois untuk kali ini. Gadis itu melangkah pergi meninggalkan cafetaria yang mendadak sunyi. Meski tidak mengeraskan suara, pertengkaran singkat antara Wonwoo dan Jiyeon sudah menjadi tontonan para penghuni cafetaria.

Hoshi dan Mingyu tidak tahu perihal Jieun akan jadi separah ini. Tidak menyangka jika Jiyeon bertindak diluar dari yang biasanya. Tidak ada sifat bar-bar jika nama Jieun dilayangkan.

Terlihat Wonwoo tidak akan mengejar, Mingyu berinisiatif untuk menyusul Jiyeon yang sudah melangkah terlalu jauh.

"Kenapa kau diam saja?" Hoshi pun tidak habis pikir dengan tanggapan Wonwoo yang seolah pasrah menerima.

"Aku tidak bisa memilih."

Tawa Hoshi terdengar sumbang, Wonwoo terlalu bodoh dalam memahami Jiyeon. Mungkin memang benar jika kasus Jieun cukup penting, gadis itu tidak sekuat Jiyeon dan sangat butuh dukungan saat ini. Namun membiarkan Jiyeon pergi dengan segala asumsi pun tidak dibenarkan. Setidaknya Wonwoo memberi penjelasan dengan tenang tanpa harus membuat jawabannya menjadi keputusan untuk memilih.

Baru saja mereka menata pondasi, terpaan angin ringan bisa membuat semuanya kembali hancur. Wonwoo mengerang frustasi dan mengusap wajahnya kasar. Memang seharusnya ia lebih mengerti Jiyeon dan tidak membuat gadis itu merasa berada di posisi sebuah pilihan.

Getaran ponsel menariknya dari rasa gelisah, merogoh benda pipih itu di kantong celana dan langsung mengangkatnya setelah melihat nama Jieun di sana.

"Hallo?"

"Wonwoo? Maaf aku menganggumu, dari kemarin kau tidak bisa kuhubungi." Suara Jieun terdengar serak dan lelah di ujung sambungan.

"Ya, maaf. Kemarin aku bersama Jiyeon. Bagaimana keadaan ayahmu?"

Redamancy✔Where stories live. Discover now