surrender

1.4K 180 47
                                    

Selama tiga hari upacara pemakaman, Jiyeon benar-benar banyak membantu. Membuat Jieun yang tengah berduka merasa tidak enak. Setelah selesai pun Jiyeon langsung pulang tanpa repot-repot memberi kesempatan Jieun untuk mengucapkan terima kasih.

Dan selama itu pula Jiyeon selalu menghindari Wonwoo. Sekuat apa pun pria itu mencoba mencuri sedikit waktu luang agar bisa berbicara dengan Jiyeon, sekuat itu pula usaha Jiyeon untuk menggagalkan konversasi.

Mingyu pun cukup memahami jika Jiyeon ingin sendiri, pria itu tetap memperhatikan Jiyeon dari jauh tanpa berniat menganggu dan merundung Jiyeon dengan berbagai pertanyaan yang bersarang di kepalanya.

"Maafkan aku, hubunganmu dan Jiyeon jadi begini pasti karena aku, 'kan?" Jieun membuka suara usai kepergian bibi dan sepupunya yang memilih kembali ke kampung halaman mereka. Meninggalkan Jieun dengan kehidupannya seperti sebelumnya, dan sekarang malah hanya sendiri tanpa ayahnya lagi. "Aku akan mencoba berbicara pada Jiyeon besok."

"Tidak perlu, aku yang akan menemuinya besok. Jangan menyalahkan dirimu," balas Wonwoo.

"Tapi—"

"Aku pulang dulu, kau tidak apa-apa, 'kan kutinggal sendiri?" sela Wonwoo.

Jieun pun mengangguk mengerti. Ia berterima kasih banyak lantaran Wonwoo yang membantunya mengurus pemakaman sang ayah, kalau tidak ada Wonwoo, Jieun tidak tahu akan meminjam uang pada siapa.

Selepas kepergian pria itu, Jieun termenung dalam balutan serba hitamnya. Matanya menatap nanar pada figura sang ayah yang terpampang ditengah-tengah dinding ruang tamu. Kini ia benar-benar sendiri, jangan harap ia bisa menumpang hidup dengan bibinya. Ia tidak ingin membebani kakak dari ayahnya itu lantaran kehidupan bibinya di kampung begitu pas-pasan.

Setidaknya, untuk beberapa bulan ke depan, ia bisa menggunakan uang tabungannya untuk biaya hidup dan kebutuhan lain. Besok ia akan mencari pekerjaan paruh waktu demi kelangsungan hidupnya.

Pandangannya beralih pada benda kecil yang tergeletak di samping kaki meja di sudut ruangan. Gadis itu mendekati, berjongkok dan memungut benda tersebut.


...


Jiyeon tahu jika Mingyu sudah mengikutinya beberapa hari belakangan ini. Ia bisa saja mengabaikan pria itu seperti sebelum-sebelumnya, tapi kali ini Jiyeon sudah cukup lelah dengan pria itu yang tidak berniat sama sekali menyembunyikan tubuh besarnya demi membuntuti Jiyeon seperti anak ayam.

"Cukup Mingyu! Kau tidak malu apa orang-orang menatapmu seperti itu?"

Dengan senyum miring yang menyebalkan di mata Jiyeon, Mingyu akhirnya berjalan mendekat dan menarik kursi di hadapan gadis itu untuk ia duduki.

Suasana cafe cukup ramai sore ini, dan kehadiran sosok Mingyu di cafe yang delapan puluh persen-nya adalah gadis remaja, membuat suasana semakin ramai dan tidak mengenakkan bagi Jiyeon. Gunjingan-gunjikan nakal dan suara genit yang tertuju untuk Mingyu tidak luput dari pendengarannya.

"Akhirnya kau bicara juga," ucap pria itu sembari menyesap espresso milik Jiyeon.

"Kau tidak punya kerjaan lain selain mengikutiku?"

"Siapa bilang aku mengikutimu? Percaya diri sekali," elaknya.

"Lalu kenapa kau berada di sini sekarang? Kemarin kau juga mengikutiku ke toko buku, dan kemarinnya lagi ke rumah sakit."

Mingyu mengedikkan bahunya acuh, memilih tidak menjawab dan melipat kedua lengannya di depan dada sambil menatap Jiyeon yang tengah menginterogasinya.

"Apa Wonwoo yang menyuruhmu?" tanya Jiyeon curiga. Ia masih mengabaikan panggilan dan puluhan pesan dari Wonwoo. Juga menghindari Wonwoo saat pria itu mendatangi rumahnya.

Redamancy✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang