apprehensive

1.4K 185 61
                                    

Selama satu jam lebih, ketakutan tidak pernah meninggalkannya. Rasanya juga lelah menangis, juga tidak ada lagi air mata yang bisa ia keluarkan. Usapan lembut tangan Mingyu pada punggung kecilnya masih setia memberi rasa tenang. Di depannya, Hoshi berdiri dengan matanya yang sesekali melirik ke dalam ruangan tempat Wonwoo tengah ditangani oleh dokter.

Jiyeon tidak bisa menghentikan berbagai pikiran buruknya saat ini. Segala macam emosi bergumul, berlomba-lomba untuk mengambil alih dirinya, hingga rasa takut dan khawatir itu mendominasi segalanya.

"Aku benar-benar buruk," bisik Jiyeon lirih. Menangkup wajah kecilnya dengan kedua tangan. Pikirannya berhenti pada andai-andai yang paling buruk. Perasaan bersalah menekannya terus menerus.

"Jiyeon, berhentilah menyalahkan dirimu." Mingyu tentu paham kondisi mental Jiyeon saat ini.

"Tapi memang kenyataannya ini semua salahku! Andai aku tidak egois dan mendengarkan semua penjelasannya, ini tidak akan terjadi."

"Ini sudah takdirnya Jiyeon. Kau tidak bisa menghakimi dirimu sendiri seperti ini." Kali ini Hoshi yang bersuara.

Pintu akhirnya terbuka  dan ketiga atensi langsung tertuju pada dokter pria yang baru saja keluar dari sana.

"Bisa saya bicara dengan keluarganya?" ucap dokter tersebut sembari melepaskan masker yang menutupi separuh wajahnya.

"Ayahnya tengah dalam perjalanan ke sini, Dok. Saya sepupunya." Mingyu menanggapi.

Jiyeon cukup tercengang dengan fakta yang satu itu, bagaimana ceritanya Mingyu dan Wonwoo saudara sepupu? Oke ... mungkin itu bisa Jiyeon tanyakan nanti, sekarang rasa khawatirnya lebih mendominasi daripada rada penasaran akan status persaudaraan kedua pria tersebut.

"Cidera di kepalanya cukup parah, sempat terjadi pendarahan pada otak. Pergelangan tangan kirinya retak, dan ligamen di lutut kirinya robek, saat ini  pasien akan dipantau selama 24 jam oleh dokter spesialis, dokter jaga dan perawat yang sudah kompeten. Pasien nanti bisa dikunjungi kalau sudah dipindahkan dari ruangan intensif."

Jiyeon rasanya lemah untuk sekedar menopang tubuhnya dengan kedua kaki. Penjelasan dari sang dokter menamparnya begitu telak. Seberapa besar kebencian Wonwoo padanya saat ini? Ketika pria itu sadar nanti dan tahu kondisinya yang begitu parah, dan Jiyeon-lah penyebabnya.

Semua salahnya, Jiyeon tidak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Dia pantas dibenci, ya Tuhan, apa karena ini ibunya pergi? Jiyeon membawa begitu banyak kesialan untuk orang yang ia cintai.

Bukannya ia beruntung saat sang ayah menikah dan membangun keluarga sendiri? Dan Jiyeon hidup bak sosok yang dikucilkan. Bukan! Jiyeon-lah yang ingin sendiri, jadi ayahnya memang lebih baik berada jauh darinya.

Ia ingin pergi, jauh dari sini. Sebelum Wonwoo sadar dan Jiyeon melihat kebencian itu langsung dari mata pria yang ia cintai. Berlari sejauh mungkin dan tidak pernah menampakan dirinya lagi agar Wonwoo bisa melupakan hari terkelam semasa hidupnya.

Tapi Jiyeon tidak bisa, ia butuh untuk melihat Wonwoo saat sudah sadar nanti, ia ingin memastikan keadaan Wonwoo yang membaik meski pada akhirnya Jiyeon diminta pergi.

Jiyeon merasakan remasan pelan pada bahu kanannya. Ia menoleh, melihat Mingyu yang memberi semagat lewat senyumnya. Tapi Jiyeon terlalu lelah untuk membalas senyum itu. Ingin menangis pun rasanya sudah tidak ada tenaga lagi.

"Ayo ke cafetaria di bawah, Hoshi akan di sini sembari menunggu ayah Wonwoo nanti," tutur Mingyu.

"Aku tidak lapar."

"Meskipun begitu, kau harus tetap mengisi perutmu."

Jiyeon menggeleng, ia tidak ingin melakukan apa pun untuk saat ini selain berdiam diri dan menunggu Wonwoo sadar. Biarkan kali ini ia merasa menderita karena perbuatannya pada Wonwoo. Bahkan sekarang pikirannya hinggap pada masa depan Wonwoo nantinya, ya Tuhan. Apa dokter tadi bisa menjamin tidak ada kerusakan yang berakibat fatal dan mempengaruhi Wonwoo nantinya?

Redamancy✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang