effete

1.3K 179 85
                                    

Rasanya Jiyeon sudah cukup lama mengeraskan hati untuk tidak menemui Wonwoo berhari-hari. Wajah tampan yang biasanya begitu tenang, kini terlihat kacau dengan tatapan putus asa. Gadis itu masih menunggu Wonwoo yang meminta untuk didengar, berdiri di lorong sekolah yang cukup sepi. Semua murid sudah berada di kursi masing-masing untuk mengikuti pelajaran pagi. Kecuali mereka berdua yang berdiam diri.

Semua kata yang ia pikirkan mendadak lenyap saat Jiyeon sudah di hadapan. Bibir yang tadi selalu meminta Jiyeon agar mendengar penjelasannya kini terasa kelu. Dan tangan yang tadi dengan berani menahan Jiyeon supaya berbalik menatapnya, kini bersembunyi di balik kantong celana.

"Sudah lima belas menit," ujar Jiyeon setelah melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Bukan karena bosan menunggu Wonwoo yang belum juga membuka suara, tapi Jiyeon takut jika hatinya kembali melemah.

Wonwoo menghela napas panjangnya dan menunduk memejamkan mata. Sikap Jiyeon yang dingin semakin membuatnya kehilangan kata-kata.

"Tidak ada yang mau kau katakan? Aku harus masuk kelas." Gadis itu bersiap untuk berbalik dan menjauh.

"Jiyeon," lirihnya.

Jiyeon menghentikan gerak kakinya, meski belum berbalik menghadap Wonwoo.

"Jangan seperti ini," lanjut pria itu menatap nanar punggung kecil Jiyeon. "Aku lebih baik jika kau memakiku saat kau marah, kau boleh menampar, atau lakukan apa pun agar amarahmu terlampiaskan."

Jiyeon masih belum berbalik, rasanya sulit jika ia menatap wajah Wonwoo saat ini. Hatinya baru saja terima jika hubungan yang baru mereka mulai—atau Jiyeon anggap begitu, berakhir dan mereka bisa menjalankannya kehidupan masing-masing tanpa perlu bersama lagi.

"Tapi aku mohon, jangan diam dan jauhi aku seperti ini."

Jiyeon akhirnya  berbalik, mendapati Wonwoo yang kini menatapnya penuh harap.

"Aku tidak marah," ucapnya.

Tentu Wonwoo tidak percaya, sikap Jiyeon beberapa hari ini jelas membuktikan jika gadis itu tengah marah dan kecewa padanya.

"Kau marah."

Jiyeon menghela napas dan kembali bersuara. "Aku tidak marah, Wonwoo."

Wonwoo sungguh tidak suka jika Jiyeon tidak lagi memanggil namanya dengan sebutan "Nonu" seperti biasa. Entah sejak kapan, panggilan itu tidak lagi mengganggunya dan ia menyukai nama panggilan itu keluar dari bibir Jiyeon.

"Kau jelas marah. Tidak apa kau marah, tapi jangan menjauh dariku."

"Aku benar-benar tidak marah, aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan dari dulu."

Wonwoo memang pintar, bahkan tergolong jenius dalam hal pelajaran. Tapi ia tidak cukup pintar mengartikan ucapan Jiyeon barusan.

"Kau tidak perlu lagi khawatir aku akan kesal kalau kau bersama Jieun, aku tidak marah atau menyuruhmu memilih. Aku cukup tahu diri untuk itu. Dan sekarang kita bisa seperti dulu, sebelum aku datang dan menganggumu."

"Jiyeon—"

"Aku selalu memaksamu untuk menghabiskan waktu denganku tanpa membiarkanmu dekat dengan Jieun. Aku egois, bukan? Aku kesal tiap kali kau lebih memilih Jieun sementara aku juga membutuhkanmu. Kenapa selalu Jieun yang menjadi tujuanmu sementara aku yang selalu menempatkanmu di atas?" Jiyeon mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya. Ia ingin mereka berpisah dengan jelas tanpa salah satu diantaranya bertanya-tanya tentang hubungan yang berakhir tiba-tiba. "Kau tidak bisa menjawabnya, bukan?"

"Jieun butuh aku—"

"Apa kalau saat itu aku bilang membutuhkanmu, kau tidak akan pergi menemuinya?" sela Jiyeon menatap lekat sepasang mata Wonwoo dari balik kacamata pria itu.

Redamancy✔Where stories live. Discover now