condone

1.4K 211 102
                                    


Bukan suasana ramai yang melingkupi Jiyeon saat ini. Gadis itu masih membisu dengan mata yang betah menatap api unggun. Sementara ia sudah berganti pakaian dengan T-shirt dan celana training panjang yang bagian kiri digulung hingga di atas lutut agar tidak mengenai lukanya.

Berbanding terbalik dengan keramaian beberapa meter dari tempatnya. Mereka benar-benar menikmati acara api unggun dengan bernyanyi dan terdengar heboh saling melempar lelucon. Sementara di sini, Jiyeon menikmati rasa sunyi dengan api unggun yang dibuat Mingyu, lantaran Jiyeon tidak ingin bergabung dengan yang lain.

"Masih belum mau cerita?" Mingyu kembali membuka suara sembari dengan telaten membersihkan luka lecet pada lengan kanan Jiyeon bagian luar. Setelah memberi pevidone iodine pada bagian yang luka, pria itu juga menutupinya dengan plester agar, debu dan bakteri dari udara tidak menempel pada luka yang terbuka.

Setelahnya Jiyeon kembali membungkus tubuhnya dengan sehelai selimut bermotif Pororo. Lalu, Mingyu beralih pada luka di lutut Jiyeon. Disekitar luka gores yang masih mengeluarkan darah tersebut, juga terdapat memar.

Gadis itu meringis begitu Mingyu membersihkan lukanya. Melakukan hal yang serupa pada lengan kanan Jiyeon.

"Kalau kau diam begini, Wonwoo semakin marah padamu. Jieun pun juga tidak mau membuka suara."

"Aku tidak peduli," balas Jiyeon. Lebih ketus dari yang ia inginkan. Rasa kesal pada Wonwoo masih saja menguasai dirinya.

Jiyeon akui jika ia memang kekanak-kanakan, tapi dia bukan tipikal gadis yang akan mencelakai gadis lain demi seorang pria. Jiyeon kecewa, mengetahui jika posisinya ternyata masih begitu jauh di bawah Jieun.

Apa Wonwoo tidak bisa memarahinya saja saat mereka tengah berdua?

Mungkin kalau begitu, Jiyeon tidak sesedih ini. Jika itu orang lain, Jiyeon tidak akan ambil pusing. Tapi ini Wonwoo, pria yang dengan rakusnya menguasai setiap tempat di dalam hati Jiyeon. Bahkan di sudut-sudut tergelap sekali pun. Dan rasanya benar-benar menyesakkan, Jiyeon tidak berani terlalu dalam mengambil napas karena rasa ngilu dan nyeri pada dadanya yang mampu membuat sudut mata itu meloloskan bulir bening kesakitan.

"Bibirmu berkata tidak peduli, tapi matamu jelas sangat ingin jika Wonwoo berada di sini."

Jiyeon pun melirik Mingyu yang ternyata sudah selesai mengobati lukanya. Plester yang sedikit lebih gelap dari warna kulitnya yang seputih susu kini membuat lututnya terlihat aneh. Karena hanya menutupi luka yang terbuka, sementara memar dengan warna ungu kemerah-merahan masih tampak jelas.

"Dia seperti itu karena panik, kau pergi sendirian dan tidak membawa ponselmu," ujar Mingyu.

Namun Jiyeon terlalu malas menanggapi, terlanjur sakit hati dengan perlakuan dan tuduhan Wonwoo yang membuatnya merasa kesal sendiri.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kalian tidak mungkin bertengkar jika lukanya seperti ini." Mingyu masih tidak menyerah untuk mengulik informasi.

"Kan tadi kau dengar sendiri. Dia tersandung akar pohon."

"Lalu bagaimana denganmu? Kau mengikuti jejaknya untuk tersandung akar pohon?" Mingyu tidak sepenuhnya percaya. Bohong jelas terasa saat Jiyeon berbicara tanpa menatap tepat di mata.

"Aku tersandung kakiku sendiri," balasnya masih mencoba menyembunyikan yang terjadi.

Sudah jelas jika Mingyu tidak akan mempercayai, pria itu ingin kembali menyelidiki, tapi saat matanya melihat Jiyeon yang terpaku duduk di tempatnya dengan pandangan lurus dihadapannya. Mingyu memutar tubuhnya yang masih dalam keadaan berjongkok.

Ada Wonwoo yang berdiri dua meter dari posisi mereka. Mata tajam pria itu juga menatap Jiyeon dengan pandangan yang sulit diartikan.

Mingyu berdiri, memberi kedua temannya privasi untuk saling berbicara dari hati ke hati. Sudah cukup mengenai keras kepala dan gengsi yang membubung tinggi. Sebab, Mingyu bisa membaca, jika Wonwoo mulai menaruh rasa pada gadis yang selalu dihindarinya.

Redamancy✔Where stories live. Discover now