beseech

1.3K 196 144
                                    

Tidak mudah bagi Wonwoo untuk terima jika Jiyeon sudah benar-benar melepaskannya. Semua yang pernah mereka lewati seolah bukan sebuah yang bisa dijadikan kenangan oleh gadis itu. Sikap acuh tak acuhnya membuat Wonwoo semakin hancur dari hari ke hari.

Bukannya Wonwoo tidak lagi mencoba untuk mengajak Jiyeon berbicara, tapi semakin Wonwoo berusaha, semakin kuat pula Jiyeon mematahkan harapannya.

Belum, saat ini Wonwoo belum bisa pasrah menerima. Ia pikir Jiyeon memang butuh waktu untuk menjauh darinya barang sejenak. Ia bisa memberi Jiyeon jarak dan ruang untuk menenangkan diri dari kemelut masalah yang menimpa mereka. Tapi untuk merelakan hubungan mereka berakhir, Wonwoo tentu tidak bisa. Bahkan tidak akan pernah bisa meski Jiyeon sudah menjatuhkan ultimatum bahwa hubungan mereka sudah sepatutnya berhenti sebelum lebih banyak lagi yang tersakiti.

Wonwoo tersenyum miris, Jiyeon pun berkata jika mereka tidak memiliki nama atas hubungan mereka yang begitu buram. Tidak ada dasar untuk jalinan kasih di antara keduanya. Menurut Jiyeon, hanya gadis itu yang terlalu tinggi menggantung harap sehingga ia lupa menapak di dasar penuh kotoran.

Seharusnya memang Jiyeon membatasi agar hal seperti ini tidak membuatnya menarik diri setelah tidak bisa lagi memiliki. Seharusnya Jiyeon sadar lebih awal agar rasa luka yang pernah menjadi kawan tetap terkawal. Kenapa ia bisa-bisanya jatuh pada lobang yang lebih dalam jika lobang yang pertama saja nyaris membuatnya tidak bisa memanjat untuk sampai ke atas sana.

"Kau benar-benar mengerikan."

Celetukan itu datang dari Hoshi yang melempar ranselnya sembarangan pada sofa. Tidak menemukan Wonwoo dua hari lamanya membuat pria usil itu menghampiri apartemen sahabatnya demi memastikan jika Wonwoo masih bernapas dengan benar setelah terakhir kali mereka bertemu dengan keadaan Wonwoo yang memohon agar Hoshi mau untuk membantunya memperbaiki hubungannya dengan Jiyeon.

"Mau sampai kapan kau mengurung diri? Sampai Minggu depan?" Hoshi menyusuri dapur dan membuka lemari pendingin. "Kurasa Minggu depan pun kau tidak bisa bertemu dengannya, ayah Jiyeon sudah mengurus kepindahan gadis itu. Kata Eunra Jiyeon masih akan tetap masuk sekolah untuk beberapa hari sebelum kepindahannya ke luar negeri."

Lingkaran hitam yang kentara dan mata tajam yang menatapnya tidak suka dari balik kacamata itu membuat Hoshi susah payah meneguk minuman soda yang sudah tertampung di mulutnya, terlihat kedua pipi itu menggembung penuh.

"Pindah?" Ulangnya mempertanyakan. Berharap sahutan dari Hoshi setelahnya bukan kalimat yang baru saja ia dengar.

Namun anggukan dari temannya itu semakin meyakinkan Wonwoo jika indera pendengarannya masih baik-baik saja. Dengan jelasnya Hoshi kembali membenarkan kalau Jiyeon akan pindah ke luar negeri.

"Dia tidak memberi tahumu? Sekolah cukup heboh selama dua hari ini dengan kabar itu."

Tidak lagi mendengarkan Hoshi, Wonwoo beranjak dari sofa menuju kamarnya. Menyambar jaket yang tergantung di balik pintu dan mengenakannya dengan asalan. Ponsel di nakas pun diraih segera, berharap kali ini Jiyeon akan menjawab panggilan darinya.

Tapi hal serupa masih menyambangi rungu, bukan Jiyeon yang menjawab di seberang sana, melainkan suara operator seluler yang menandakan jika gadis yang ia coba hubungi tidak mengaktifkan ponselnya.

Tidak peduli dengan cekalan Hoshi, Wonwoo tetap melanjutkan langkahnya keluar dari apartemen setelah mengenakan sepatunya secepat yang ia bisa.

Kini, saat ia sendiri menyusuri jalanan, Wonwoo semakin merasa ketakutan-ketakutan membayangi tanpa henti. Cengkeraman kedua tangannya pada setir membuat kesepuluh jari memutih. Sulit meredakan kecemasan yang bergumpal naik ke kerongkongan.

Redamancy✔Where stories live. Discover now