extra chapter

2.2K 164 51
                                    

Rumah Jiyeon tampak gelap, bahkan lampu serambi tidak dinyalakan untuk menyambut kedatangannya. Ia menarik napas lebih dalam, bersiap menghadapi masalah yang sebenarnya malam ini.

Tepat enam jam yang lalu, Wonwoo mengingatkannya akan makan malam romantis yang pria itu persiapkan untuk mereka berdua, di sela-sela waktu sibuk mereka, sudah seharusnya mereka mencari ruang untuk menghabiskan waktu berdua.

Tapi, nyatanya Jiyeon-lah yang menggagalkan upaya Wonwoo dalam menguatkan intensitas mereka. Mendadak, sore tadi, rumah sakit dibanjiri korban kecelakaan beruntun. Jiyeon yang seharusnya bisa mencapai rumah sebelum pukul tujuh, terpaksa harus tertahan hingga jam sepuluh malam.

Dan ia benar-benar dalam masalah besar saat ini. Percayalah, Wonwoo yang tengah merajuk lebih sulit ia hadapi ketimbang keusilan Hoshi selama bertahun-tahun ini.

Memasuki rumahnya perlahan, Jiyeon disambut dengan aroma lilin yang baru saja padam, bawang dan ikan. Tidak diragukan lagi, Wonwoo pasti tengah marah dan akan melakukan aksi merajuknya selama beberapa hari ke depan. Jiyeon sudah pernah dibuat frustasi dengan itu, dan Wonwoo selalu konsisten dengan mogok bicaranya.

Meletakkan sebotol wine dan sekotak cake yang ia bawa di atas meja makan, Jiyeon langsung menuju kamar mereka. Suara televisi terdengar lemah sebelum Jiyeon membuka pintu, cahaya televisi berkelap-kelip mengalahkan cahaya lampu yang temaram di kamar ini.

Wonwoo berbaring menyamping, membelakanginya dan menghadap televisi yang menyala, menampilkan acara komedi tiga belas pemuda tampan yang tengah melakukan misi. Acara kesukaan mereka.

"Kau ingat jalan pulang?" Suara Wonwoo begitu berat, pandangannya tidak teralihkan dari televisi tersebut.

"Aku minta maaf, rumah sakit kebanjiran korban kecelakaan hari ini," balas Jiyeon menyesal. Ia berjalan mendekati ranjang dan duduk menyamping di belakang Wonwoo.

Pria itu tidak lagi menanggapi, jelas akan mendiamkan Jiyeon dan membiarkan istrinya mengoceh sendiri.

"Aku tidak melupakan makan malam ini, suasana rumah sakit begitu kacau dan dokter yang bertugas sangat sedikit tadi. Aku harus bagaimana?"

Wonwoo mengecilkan volume kendati belum mengalihkan pandangannya. Tapi Jiyeon tahu, Wonwoo masih mendengarkannya.

"Aku juga tidak ingin citra rumah sakitmu buruk karena pelayanan yang kurang baik."

Kemarahan terasa sedikit berkurang kala punggung tegap Wonwoo naik beberapa detik sebelum turun disertai hembusan napas berat.

"Kadang aku benci karena aku-lah kau menjadi dokter," tuturnya. Ada kesedihan yang membaur dengan rasa kesal dalam nada bicaranya. Suara berat itu diselubungi rasa lelah. Dan Jiyeon ingin berbuat sesuatu untuk meringankan emosi yang Wonwoo miliki.

"Aku malah bersyukur karenamu aku bisa menjadi seperti sekarang."

Seiring berjalannya waktu, hampir dua tahun usia pernikahan mereka, Wonwoo harus dihadapi dengan situasi tanpa Jiyeon yang lebih lama disisinya. Bahkan rasanya di saat-saat tertentu, lebih parah dibanding saat mereka masih dengan status sepasang kekasih, Jiyeon benar-benar seperti orang gila kerja dan melupakannya di rumah yang hampir mati kebosanan.

"Ini bukan diantara kita lagi, Jiyeon. Sekarang ada anak yang juga butuh sosok ibunya."

Jiyeon memutar matanya jengah, sudah menduga akan kalimat ketus Wonwoo tersebut. "Kau serius akan mendebatkan itu? Boo pasti mengerti."

"Kerja saja terus, pulang saja jika anakmu sudah bisa berlari dan pergi dari rumah ini."

Wonwoo malah semakin kesal mendengar Jiyeon tertawa geli, sindiran-sindiran Wonwoo membuatnya gemas sedari tadi.

Redamancy✔Where stories live. Discover now