unanimous

1.3K 215 69
                                    

Sore ini, sepulangnya dari sekolah, Jiyeon tidak langsung pulang ke rumahnya. Hal yang terbilang sering ia lakukan akhir-akhir ini, menghabiskan waktu di apartemen Wonwoo. Setidaknya ia tidak merasa kesepian di rumah besar yang terasa dingin dan begitu hampa.

Dan Wonwoo pun tidak lagi menentang mati-matian karena menganggap hal seperti itu hanya berujung percuma. Jiyeon tetaplah gadis keras kepala dan sering kali bertindak di luar logika. Seperti sekarang, gadis itu tengah tiduran dengan kedua tangan yang sibuk bermain pada ponselnya. Menjadikan punggung Wonwoo sebagai bantalannya. Sementara Wonwoo berbaring menelungkup di atas karpet berbulu yang biasanya ia duduki saat bermain game. Sibuk membaca novel dan menopang tubuhnya dengan kedua siku.

"Bulan depan ujian semester, kalau nilaiku bagus semester ini, kau akan beri hadiah apa?" tanya Jiyeon. Memang rasa cemburu itu masih ada, tapi ia tidak bisa terlalu lama jika mendiami Wonwoo, bisa-bisa Jieun dan Mingyu malah mengambil peluang tersebut untuk semakin mendekati Wonwoo-nya.

Wonwoo tidak langsung menjawab, pria itu menyibak halaman novelnya dengan helaan napas malas. "Rangking satu, apa pun yang kau minta aku beri," balas Wonwoo enteng. Ia tahu jika Jiyeon cerdas, meski terbilang malas, gadis itu memang memiliki kualitas otak yang bagus. Tapi mengalahkan si rangking satu bukanlah perkara mudah, dan ia sangat tahu betapa jeniusnya si rangking satu angkatan kedua.

Itu Wonwoo lakukan karena ingin Jiyeon lebih fokus lagi pada pendidikannya, gadis itu terlalu larut dalam hingar-bingar dunia malam dan acuh pada akademik-nya.

"Kau bercanda? Mingyu selalu juara satu dari dulu. Mana mungkin aku menggeser posisinya. Masuk sepuluh besar saja sudah bersyukur," balas Jiyeon.

"Tidak ada hadiah kalau begitu."

Jiyeon langsung bangkit dan menatap Wonwoo dengan cemberut. "Lima besar kalau begitu," tawarnya. Mungkin kalau lima besar, masih ada harapan untuknya. Mengalahkan murid Dwight butuh kecerdasan yang tinggi." Jiyeon hanya belum mengasah karena terlalu terlena dengan kehidupan malamnya.

Sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utamanya ini termasuk salah satu dari tiga jejeran sekolah internasional yang ternama di Seoul. Juga pengesahan yang dilakukan sepenuhnya oleh Baccalaureate Organization. Ayah Jiyeon menjadi salah satu donatur di sekolah ini. Itu sebabnya Jiyeon tidak tersentuh hukum jika melakukan pelanggaran. Tapi dengan rangking dan nilai di sekolah, itu murni karena kecerdasannya, bukan bantuan dari sang ayah atau guru-guru yang takut mengusiknya.

"Juara satu atau tidak sama sekali." Keputusan Wonwoo sudah bulat, tidak bisa ditawar lagi.

Jiyeon mendengus kesal, belajar terlalu keras membuat otaknya memberontak. Membayangkannya saja sudah membuat Jiyeon mual.

"Memang kau mau hadiah apa?" tanya Wonwoo. Menoleh pada Jiyeon sebelum kembali fokus pada novelnya.

"Liburan setelah ujian selesai. Hanya berdua, tanpa Hoshi dan Mingyu."

"Aku tidak memiliki waktu untuk liburan, setelah ujian semester, aku akan semakin sibuk mempersiapkan diri untuk College Scholastic Ability Test dan ujian Nasional."

Jiyeon memutar matanya jengah, apa yang membuat Wonwoo gelisah dengan itu? Dengan otak jeniusnya, pasti tidak akan kesulitan dengan ujian untuk masuk ke perguruan tinggi.

"Ayolah, kau tidak mungkin gagal CSAT dengan otak seperti itu. Kalau pun nanti tidak lulus, ayahku bisa—"

"Aku mulai tidak suka dengan arah pikiranmu," potong Wonwoo jelas mulai marah. Ia paling tidak suka jika Jiyeon menganggap mudah semua karena memiliki uang. "Kau harus menggunakan kemampuanmu sendiri tanpa harus melibatkan kekayaan orangtuamu."

Redamancy✔Where stories live. Discover now