ignorant

1.2K 185 100
                                    

Jelas sekali emosi yang sudah membumbung tinggi sulit dibenahi. Agar menjadi lebih tenang dan berpikir secara jernih, Wonwoo menghirup udara sebanyak yang bisa ditampung paru-parunya dan melepaskannya perlahan. Berulang kali mencoba hingga emosinya bisa kembali dikendalikan.

Video singkat yang baru saja memenuhi ruang netranya sukses membuat rahang tegas itu menengang. Tidak habis pikir dengan gadis yang selama ini ia anggap baik dan memiliki hati yang lembut, ternyata penuh dengan kepalsuan. Juga kosa kata yang dipergunakan tidak sepatutnya meluncur dari bibir yang dulu hanya melontarkan kata-kata sopan.

"Aku bisa jelaskan," intonasi yang terdengar lebih kecil dan rapuh saat tertangkap rungu. Seakan pita suara sudah dirancang dengan volume paling rendah. "Aku tidak bermaksud untuk—"

"Lebih baik menjauh dariku. Melihatmu semakin membuat perasaanku buruk." Pertama kalinya Wonwoo berucap kasar meski nada yang dikeluarkan begitu tenang.

Jieun meneguk ludahnya, kedua tangan kecilnya saling bertaut di depan tubuh. Saat semuanya sudah terlalu jelas, rasa penyesalan selalu menjadi bayangan yang mengerikan. Lepas dari rasa takutnya akan pandangan Wonwoo setelahnya, Jieun lebih merasa khawatir jika rasa benci Wonwoo untuknya tidak bisa lagi diperbaiki. Dan kata kehilangan yang selalu menjadi momok mengerikan baginya, kini terlihat semakin pekat di pelupuk mata yang buram dengan genangan air mata.

"Kau sengaja mengarahkanku pada situasi buruk dan melukai Jiyeon, bukan? Kau puas sekarang?"

Jiuen menggeleng cepat dan mwncoba meraih tangan Wonwoo yang langsung ditepis pria itu. "Aku selalu merasa bersalah padamu karena semenjak Jiyeon hadir, waktuku banyak tersita olehnya. Dan seperti orang bodoh, aku selalu berlari padamu hingga Jiyeon terabaikan."

"Menurutmu bagaimana aku harus bersikap sekarang? Bagaimana aku harus memperbaiki semua yang kau perbuat?"

"Dia punya segalanya yang tidak aku miliki, Wonwoo. Bukankah itu sudah cukup? Kenapa dia masih ingin memilikimu sementara hanya kau yang kupunya saat ini," jerit Jieun.

Merasa tidak perlu meladeni, Wonwoo berbalik dan melangkah pergi. Ia butuh melihat Jiyeon meski gadis itu tidak mau lagi menatapnya seperti dulu.

Tidak semudah itu bagi Jieun untuk menyerah, tetap menyusul Wonwoo dengan langkah kakinya yang kalut dan mengabaikan tatapan rendah para murid yang tengah memperhatikan mereka. Jieun sudah terlanjur basah, berpura-pura seperti semula pun akan sia-sia. Sekarang ia akan mempertahankan apa yang seharusnya menjadi miliknya.

Hingga ia tahu, ke mana tujuan Wonwoo saat ini. Di depan sana, Jiyeon tengah duduk bersisian dengan Hoshi yang tampak baru menyadari kedatangan Wonwoo.

Mempercepat langkahnya, Jieun berhasil menghadang Wonwoo sebelum pria itu sempat sampai tepat di depan Jiyeon.

"Aku bisa jelaskan. Semua yang kau lihat itu di luar keinginanku, Wonwoo. Aku terbawa emosi, aku baru saja dibully dan suasana hatiku sangat buruk kemarin. Dan—"

"Kau pikir aku peduli?" sahut Wonwoo.

"Aku mohon, jangan seperti ini, kita bisa bicara dengan tenang tanpa—"

"Cukup Jieun! Aku tidak mau lagi mendengar apa pun darimu." Pria itu membuka kacamatanya dan memijit batang hidungnya. "Seharusnya kau meminta maaf pada Jiyeon. Bukan berusaha menjelaskan padaku seperti sekarang."

"Apa?! Minta maaf?" Jieun mendengus sinis. Sempat melirik Jiyeon kesal sebelum lembali fokus pada Wonwoo yang tampak benar-benar lelah dengan keadaan. "Dia memang pantas menerimanya! Tidak bisakah kau mengerti aku? Aku yang korban di sini."

"Lee Jieun!"

"Tidan akan pernah! Aku tidak sudi!"

"Terserah, aku sudah muak melihatmu. Sekarang menyingkir dan jangan muncul di depanku lagi."

Redamancy✔Where stories live. Discover now