doggone

1.3K 190 102
                                    

Dengan menguatkan hatinya, Jiyeon melepaskan pelukan hangat Wonwoo pada tubuhnya. Jika ia membiarkan semenit lebih lama, ia tidak yakin bisa bertahan untuk mendiami Wonwoo dengan sikap acuhnya.

Ia berjalan pergi menjauh dari Wonwoo yang membeku. Baginya sudah cukup rasa sakit yang ia terima. Membiarkan Wonwoo mengambil begitu banyak ruang di hatinya adalah kesalahan fatal yang Jiyeon lakukan dengan sadar. Hingga pria itu berhasil mengambil keseluruhannya dan meninggalkan luka yang Jiyeon obati sendiri.

Wonwoo memandangi punggung Jiyeon yang menjauh pergi. Sekarang, bagaimana meyakinkan gadis itu jika ia benar-benar sudah jatuh cinta? Rasa frustasi menggerogoti setiap syarafnya.

Sementara di ujung tangga, Jiyeon masih berusaha bersikap tidak peduli, terus melangkahkan kaki hingga kini berhenti di depan pintu kamarnya. Orang-orang bisa berlaku acuh dan berteriak jika dirinya benar-benar tidak peduli, dan mereka memang tidak peduli. Dan bagi Jiyeon tentu sangat sulit melakukan hal itu sementara perasaannya masih tetap sama meski Wonwoo sudah meninggalkan luka.

Gadis itu masuk ke kamar mandi, langsung membersihkan dirinya yang baru saja lepas dari dekapan hangat Wonwoo yang selama ini ia damba. Dan saat itu sudah ia dapatkan, ia malah dengan sengaja melepaskan kedua lengan kokoh tersebut. Hidup memang seperti itu, kadang yang kita inginkan belum tentu benar-benar kita butuhkan. Tidak Jiyeon butuhkan?

Air dingin yang membasuh tubuh rupanya sedikit membantu. Pikiran labilnya untuk kembali bisa ia hentikan saat rasa dingin yang menerpa ujung kepalanya hingga memasahi tubuhnya sampai ke ujunh jari kaki.

Entah berapa lama Jiyeon berkutat di kamar mandi, ia yakin itu sudah cukup lama melihat ujung kesepuluh jarinya yang sudah pucat dan sedikit mengkerut.

Membalut tubuhnya dengan jubah mandi, Jiyeon keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju jendela kamarnya. Langit siang ini begitu gelap dan hawa dingin yang langsung menyapu epidermisnya.

Ia suka, langit yang memberi pertanda jika sebentar lagi akan menumpahkan bebannya, udara dingin yang setia menjamah setiap senti kulitnya dan aroma tanah kering yang menguap begitu ditimpa ribuan rintik air.

Sikap dan ucapan yang ia lontarkan beberapa hari belakangan selalu bertolak belakang dengan isi hatinya. Ada sentilan nyeri di ulu hati melihat wajah Wonwoo yang frustasi. Mungkin jika Wonwoo keras kepala menahannya barang lima menit saja, Jiyeon yakin tidak bisa lagi membendung air mata, hingga memberi Wonwoo kesempatan sebanyak yang pria itu inginkan.

Ketukan pada pintu kamar menghentikan lamunan. Dengan sigap Jiyeon merubah kembali ekspresi sendunya dan pintu terbuka dengan wanita paruh baya yang masuk membawakan nampan berisi satu mug cokelat panas dan sepiring biskuit. Menaruhnya di atas nakas Jiyeon dan pamit keluar untuk melanjutkan pekerjaan.

Tepat setelah pelayannya menutup pintu kamar, ponsel yang ia lempar asal pada ranjang, berdering dengan nama Mingyu yang tertera di layar yang berkedip-kedip.

Segera Jiyeon meraih benda pipih tersebut dan menjawab panggilan. "Hmm?"

"Jiyeon, kau dimana?" Di ujung sambungan, suara Mingyu terdengar panik dan latar yang cukup berisik.

"Aku di rumah."

"Dengarkan aku dengan tenang, oke? Jangan panik dan bertindak ceroboh."

"Ada apa? Kau membuatku takut." Gadis itu langsung merasa tak enak dan gelisah memelintir ujung kimono handuknya.

"Wonwoo kecelakaan." Dua kata yang keluar dari mulut Mingyu bagaikan petir yang menyambar kewarasannya. Napas yang ia tarik dan lepaskan terasa memendek dan sulit untuk dilakukan. "Aku akan menjelaskannya padamu saat kau sudah sampai di sini, Hoshi sedang menuju ke rumahmu, jadi bersiaplah dan jangan bertindak gegabah. Aku tidak bisa membiarkanmu menyetir sendiri dalam keadaan seperti ini."

Redamancy✔Where stories live. Discover now