2

70.6K 3.8K 42
                                    

Setidaknya perlakukan aku layaknya manusia, selama nyawaku masih ada, disitu aku masih bisa merasakan sakit.

***

Motor yang dikendarai Brian berhenti di rumah Ara. "Brian, makasih udah nolongin aku sama nganterin aku pulang."

"Dapet makasih aja ini?" Brian hanya bercanda, tapi sepertinya gadis itu menganggapnya serius.

"Aku cuma punya gelang ini, mungkin harganya nggak seberapa."

"Aku terima." Brian mengambil gelang tali pemberian Ara dengan inisial B. Ara tadinya membeli gelang tali couple, inisial A dan B. B untuk ia berikan pada Bara. Tapi Bara malah meninggalkanya tanpa kabar.

"Yaudah masuk sana, orang tua kamu pasti kawatir, apalagi sama anak gadisnya."

Ara memaksakan senyum. Brian salah, semenjak Marisa meninggal, Yudha tidak pernah memperhatikanya. Yudha selalu marah-marah tidak jelas pada Ara. Kadang Yudha menyalahkanya atas kematian Marisa.

Sedangkan Tara menjadikan Ara sebagai bahan bullyan meski mereka kembar. Kenapa tindakanya yang menolong Tara dari maut dulu malah menjadi awal dari penderitaanya. Tara tidak pernah merasakan bagaimana ia pernah kehilangan penglihatanya karena insiden menolongnya, dan itu membuat dunianya gelap. Ara tidak meminta kata 'terima kasih' dari mulut Tara. Ia hanya ingin kedamaian, tidak ada kata atau tindakan kasar dari keluarganya.

Setelah Brian pergi, Ara membuka pintu. Lampu ruang tengah sudah dimatikan. Ia menyalakan lampu, dan dikejutkan dengan keberadaan Yudha dan Tara.

"Baru pulang?" tanya Yudha terdengar mengintimidasi.

Ara hanya bisa mengangguk dengan kepala menunduk. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Ia harus kuat menghadapi kekerasan dari keluarganya.

"Apa begini kelakuanmu saat tidak ada orang di rumah? pulang tengah malam bersama laki-laki, lalu mengemis untuk disentuh!!"

Hatinya mencelos seketika, ia tau Yudha membencinya, tapi ia tidak menyangka papanya akan merendahkan dirinya. Air mata yang ia tahan mati-matian menetes juga. Ia harus kuat seperti apa? batu saja bisa hancur, apalagi hatinya yang lunak.

Tanganya terkepal untuk menahan tangisan agar tidak meraung. Ia tidak membenci Yudha, seburuk apa pun sikap Yudha, Ara tetap menganggapnya sebagai papa.

Ara mengatur napasnya agar kembali normal.

"Kenapa papa berpikir seperti itu?" ucapnya dengan suara lirih.

"Itu kenyataan! dan jaket yang kamu pake sudah menjelaskan semuanya!"

"Kenapa perlakuan papa ke aku beda sama pelakuan papa ke Tara? dia sering pulang tengah malah, papa nggak marahin, papa malah kawatir. Dan sekarang Ara baru sekali__"

"CUKUP SIALAN!!"

"Kamu dan Tara itu beda!"

"Apa yang beda dari kita pa?", Ara menuntut jawaban.

Yudha mengeratkan rahanya, pertanyaan Ara membuatnya semakin terbawa emosi. Yudha mencengkram lengan Ara dengan kuat, menyeretnya menuju kamar mandi. Tanpa rasa kasihan, Yudha mendorong kepala Ara masuk ke bathup yang berisi air. Ara terbatuk-batuk karena air ikut masuk ke hidungnya. Ia hampir kehabisan napas.

"APA BELUM CUKUP KAMU MERENGGUT MARISA DARI SAYA?! DAN SEKARANG KAMU MAU MENGOTORI RUMAH INI DENGAN KELAKUANMU!!"

Yudha menunjuk wajah basah Ara dengan geram. Wajahnya memerah karena emosi.

"Gadis licik sepertimu tidak pantas menjadi anak saya! harusnya Tuhan tidak memberimu nyawa!!"

Deg!

ANANDITASWARA [TERBIT]Where stories live. Discover now