Epilog

88K 3.5K 342
                                    

Air mata Bara terus berjatuhan ketika membaca lembar demi lembar diary milik Ara. Gadis itu menceritakan semua masalahnya lewat sebuah tulisan.

Hari ini papa marahanin aku lagi, papa juga benturin kepala aku di dinding. Mungkin itu salah satu penyebab aku jadi bodoh. Bara juga sering marahin aku, padahal aku udah berusaha ikuti kemauanya.

Jujur, hati aku sakit ketika Bara ngatain aku jalang. Apa aku serendahan itu dimata Bara ya? Kapan ya Bara cinta sama aku, soalnya aku udah cinta sama dia, hehehe. Kadang aku pengen cerita masalah keluarga aku ke Bara, tapi aku nggak berani, takut Bara makin marah.

"Kamu nggak jalang sayang, kamu duniaku."

Bara pernah begitu jahat terhadap Ara yang sudah banyak menderita. Ara selalu menjadi pendengar untuk Bara, namun siapa sangka Ara juga butuh didengar.

Bara duduk meringkuk di lantai, ia mengelue elus foto Ara. Bara dari dulu mengakui Ara itu cantik, namun egonya terlalu tinggi untuk mengatakanya.

Pintu kamar Bara terbuka, menampilkan Liana yang membawakan nampan berisi makanan dan obat-obatan.

"Bara makan dulu ya, setelah itu minum obatnya." Bara hanya diam, fokus matanya hanya pada foto Ara.

"Buka mulutnya sayang, biar mama suapin." Bara menggeleng.

"Sedikit aja, biar perutnya ada isinya, mama nggak mau Bara sakit lagi."

"Bara mau makan kalo Ara yang suapin." Selalu itu jawaban yang diberikan Bara ketika diminta makan.

"Jangan seperti ini sayang, Ara udah tenang di alam sana. Makan ya?"

Prak!

Bara menepis sendok berisi makanan yang disodorkan Liana. Membuat sendok tersebut jatuh ke lantai.

"Please, jangan paksa aku ma! aku cuma mau makan kalo Ara yang suapin!" Liana menangis bukan karena Bara membentaknya, tapi melihat kondisi Bara yang makin hari kian memburuk, Bara terlihat kurus dan pucat. Bara sudah seperti mayat hidup. Liana mengatur deru napasnya agar penyakit jantungnya tidak berulah.

Bara berdiri menjauh dari Liana. Namun baru beberapa langkah, Bara mencengkram perut karena rasa sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk, kepalanya seperti dihantam benda berat. Bara akhirnya jatuh tergeletak di lantai tidak sadarkan diri.

"Bara!!" Liana menjerit, ia merasakan seluruh tubuh Bara panas.

***

Bara membuka matanya perlahan, ia sudah bisa menebak dimana ia sekarang. Yap! rumah sakit. Semenjak kepergian Ara, Bara sampai bolak balik dibawa ke rumah sakit, ia sampai bosan. Bara yang tidak mau makan membuat penyakit maagnya makin parah.

"Bara mau makan apa?" tanya Liana yang sedari tadi menunggu Bara sadar.

"Bara mau pulang."

"Nanti ya, Bara kan baru sadar."

"Bosen di rumah sakit terus."

"Kamu pikir papa tidak bosan melihat tingkahmu yang seperti ini? Menyiksa diri hanya karena ditinggal perempuan. Kehidupanmu bukan hanya tentang Ara saja! Kamu itu pewaris perusahaan papa! Jangan jadi lemah seperti ini!"

Sejujurnya dalam lubuk hati terdalam Gavin, ia ingin menangisi Bara, anaknya seperti kehilangan jiwanya semenjak ditinggal Ara. Namun ia harus bisa tegas terhadap Bara, agar Bara tidak terus-terusan memikirkan Ara.

Bara menyapu semua barang yang ada di nakas. Gavin memancing kemarahannya.

"PAPA BISA NGOMONG GITU KARENA PAPA BELUM PERNAH NGERASAIN DITINGGAL PEREMPUAN YANG PAPA CINTAI!"

ANANDITASWARA [TERBIT]Where stories live. Discover now