4

64.2K 3.4K 42
                                    

Hari ini pun aku sudah takut denganmu, sikapmu membuat aku semakin tertekan.

***

Keheningan menyelimuti keduanya. Bara dengan serius mengerjakaan fisika. Bahkan ia tidak perlu melihat rumusnya untuk mengerjakan. Soal kecerdasan, Ara akui kalah jauh dengan Bara. IQ yang dimilikinya pas-pasan. Otaknya masih berfungsi dengan normal saja itu sudah cukup. Karena kadang ia merasa kewarasanya terenggut ketika ia diingatkan oleh masa lalu.

Ia melupakan sarapan pagi sampai jam makan siang tiba, dan sekarang ia kelaparan. Dari tadi ia memperhatikan Bara, tampaknya Bara sedang tidak ingin diganggu. Karena Bara habis marah-marah, ia tidak berani memulai pembicaraan.

"kenapa?"

Tentu Bara tau dengan sikap Ara yang ingin mengatakan sesuatu tapi gadis itu tahan.

"Boleh keluar sebentar nggak?" Ara bertanya dengan suara pelan.

"Kemana?"

"Mau beli seblak, aku laper banget."

"Gue nggak kasih ijin makan seblak!"

Ara mendesah kecewa, padahal menurutnya sangat enak. Ia bahkan sering antri berjam-jam hanya karena ingin seblak.

"Tapi aku pengen makan yang pedes, bentar aja kok."

Ia memang pecinta makanan pedas, hambar rasanya bila makan tidak pedas.

"Nggak usah beli makanan diluar! lo lagi sakit! gue nggak mau direpotin kalo nanti lo makin parah gara-gara makan sembarangan!"

Itu kenapa Bara tidak boleh melihat sisi terlemahnya. Entah itu asal ucap atau memang serius, tapi itu berhasil menyentil hatinya. Disaat ia berusahan membangun hubungan yang baik dengan Bara, kenapa Bara selalu memulai keributan. Padahan baru tadi mereka bertengkar.

Ara tidak mau terbawa perasaan dengan ucapan tajam Bara. Sudah menjadi sifat Bara yang keras dan arogan, dan Ara harus bisa membiasakan.

"Terus aku makan apa?"

"Masak apa aja yang menurut lo sehat buat dikonsumsi."

Yang benar saja? Ara bahkan tidak bisa memasak. Terakhir ia masak nasi goreng saat SMP, itupun tidak layak makan. Bukan berarti ia anak manja karena tidak bisa memasak, hanya saja tidak ada sosok ibu yang mengajarinya, takdir yang memisahkan mereka. Orang tuanya hanya papanya, tapi papanya tidak pernah memikirkan bagaimana keadaanya, selalu Tara yang dipikirkan.

"Eum .. aku nggak bisa masak," cicitnya.

"Apa?! nggak bisa?!" Ara mengangguk pelan.

"Percuma lo punya tangan! masak aja nggak bisa! bisanya nyusahin doang!!"

Bara menutup buku dan membereskanya. Ia menuju ke dapur dengan Ara yang mengikutinya dari belakang.

"Bara, kamu mau ngapain?"

"Lo nggak lihat gue lagi apa?!" jawabnya dengan ketus.

"Kamu bisa masak?"

"Ngapain gue ke sini kalo nggak bisa!" Bara membuka isi kulkas dan mengambil beberapa jenis sayur.

"Kamu mau buat apa? aku bantuin ya?"

"Nyuci sayur? potong sayur? ehhh tapi nggak rapi, atau kupas bawang? aku masih bisa."

Ara antusias ingin mencoba memasak, karena terlihat mudah ketika Bara yang melakukanya.

Bara menghentikan aksinya memotong sayur. Ia berbalik, tanganya memegang pisau diarahkan Ara. "Bisa diem nggak?! atau pisaunya melayang ke kedepan!!"

ANANDITASWARA [TERBIT]Where stories live. Discover now