Enam Puluh

4.2K 535 14
                                    

"Nil, lo beneran yakin mau datang ke ulang tahun Papa-nya Dava?" tanya Jason ketika Vanilla baru saja sampai dirumah.

Tadi Dava mengajaknya keluar untuk jalan-jalan dan mengantarnya pulang sekitar sepuluh menit yang lalu. Dava juga mengingatkan bahwa malam ini akan di adakan acara ulang tahun Papa Dava. Dava meminta Vanilla meluangkan waktunya agar mau ikut dengan Dava. Secara tidak sengaja Jason mendengar, karena itu ia menanyakannya pada Vanilla.

"Yakin lah," jawab Vanilla sembari mengambil orange juice dari dalam kulkas. "Dava sendiri yang ngundang."

"Iya gue tahu, tapi disana pasti ada—"

"Soraya?" Jason menganggukkan kepala.

"Ya, gue takut aja. Bisa-bisa rumah Dava meledak karena kalian berdua bertemu."

Vanilla tak mau ambil pusing ucapan Jason. Lantas ia mengenyakkan diri di sofa. Di ikuti oleh Jason yang mengambil tempat di sebelah Vanilla dan menatap Vanilla dengan tatapan serius.

"Gue gak akan berbuat macam-macam," ucap Vanilla menyakinkan. "Gue mau serius sama Dava. Dan yang harus lakukan adalah meyakinkan orangtua Dava, bahwa gue pantas untuk menjadi masa depan Dava."

"Tapi—"

Vanilla langsung mengalihkan pembicaraan. "Gue mau mandi dulu. Gerah nih." Tanpa berkata apa-apa lagi, Vanilla pergi meninggalkan Jason sendirian.

Jason memandang punggung Vanilla dan mendesah pelan. Dalam hati Jason bertanya, apakah keputusan Vanilla untuk serius dengan Dava sudah benar? Sejujurnya Jason masih sedikit meragukan Dava. Apalagi jika melihat apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Jason hanya tidak mau itu terulang lagi.

Tapi bagaimana cara menolak kehadiran sesuatu yang bernama cinta? Perasaan satu-satunya yang tidak bisa didikte apapun dan siapapun. Ia hadir begitu saja. Jatuh pada siapa pun tanpa bisa di duga. Tak peduli jika akhirnya harus menanggung resiko sakit dan terluka.

Dulu Vanilla pernah merasakannya. Kehilangan satu-satunya cinta yang ia punya. Sekarang ia mencoba untuk menumbuhkannya kembali pada orang yang sama. Dan meyakinkan diri bahwa pilihannya adalah yang terbaik.

***

Rumah itu terbilang besar. Terletak di perumahan terkenal di daerah tersebut. Rumah yang satu dengan yang lain hanya berjarak beberapa meter saja. Memiliki halaman luas dengan dua pilar besar yang berada disisi kanan dan kiri teras yang memberikan kesan klasik pada desain bangunannya. Vanilla tidak ingat apakah pernah datang ke rumah sebelumnya atau ini adalah pertama kalinya.

Selama melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, mata Vanilla dimanjakan dengan desain interiornya yang memiliki ukiran khas model rumah klasik. Dengan plafon yang tinggi, lampu gantung kristal besar nan cantik, serta ukiran pada pilar-pilar berwarna ivory dengan sedikit aksen warna coklat. Benda-benda di dalamnya pun menambah kesan mewah dan elegan.

Vanilla menghentikan langkahnya sebentar. Otomatis Dava ikut berhenti melangkah dan memperhatikan Vanilla yang terlihat gugup. Vanilla berulang kali menghela napas, meyakinkan diri bahwa semua akan berjalan baik tanpa ada kekacauan sedikit pun. Dalam hati Vanilla berkata pada dirinya sendiri agar tidak mudah terpancing jika Soraya mencoba memprovokasinya.

Dava menggenggam tangan Vanilla. "Tenang, semua akan baik-baik saja," ucapnya mencoba meyakinkan Vanilla.

Vanilla menganggukkan kepala pelan dan menghela napas. Mereka kembali melangkah hingga tiba di halaman belakang rumah Dava, tempat acara dilaksanakan. Terlihat banyak orang yang menghadiri perayaan malam ini dan sampai detik ini Vanilla sama sekali belum melihat adanya Soraya.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang