Empat Puluh Enam

7.6K 1.2K 81
                                    

Vanilla menatap pemandangan dari balkon apartemen. Perseteruannya dengan Soraya tadi kembali mengusik pikiran Vanilla. Vanilla mengutuk dirinya sendiri karena terlalu memikirkan perkataan orang lain. Meski perkataan tersebut hanya sebuah gertakan saja, tapi Vanilla tetap tidak bisa langsung menghilangkan kalimat tersebut dari dalam pikirannya.

“Lagi mikirin apa?” Dava datang dengan membawa segelas minuman sembari berdiri disamping Vanilla.

Vanilla menghela napas, “gak mikirin apa-apa,” jawab Vanilla jelas berbohong.

“Kamu itu gak bisa bohong. Pasti ada sesuatu yang lagi kamu pikirin kan? Sama kayak kemarin waktu kamu menghilang berhari-hari tanpa kabar. Aku harus bujuk kamu supaya mau ketemu aku.”

“Dav... Kalau kamu disuruh memilih antara aku atau perusahaan keluarga kamu, mana yang akan kamu pilih?”

Alis Dava berkerut, “kenapa tiba-tiba nanya gitu?” tanya Dava heran hanya dibalas endikan bahu oleh Vanilla. “Kalau bisa dua-duanya, kenapa harus memilih salah satu?”

Dava menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. "Aku gak bisa memilih antara kamu atau perusahaan keluargaku. Kamu masa depanku, tapi aku bertanggung jawab juga atas keluargaku. Aku gak bisa begitu aja meninggalkan mereka. Aku anak sulung, orangtua ku sudah saatnya pensiun dan adik ku masih kuliah di luar negri. Aku masih punya tanggung jawab yang besar, Vanilla."

"Iya, aku paham. Aku cuma nanya doang kok, gak bermaksud apa-apa."

"Kalau aku memilih kamu dan meninggalkan perusahaan, ekonomi keluarga ku bisa berantakan. Aku gak mau Poppy berhenti di tengah jalan dan aku gak mau perusahaan jatuh ke tangan orang lain. Perusahaan itu di bangun dengan jerih payah, aku gak bisa gitu aja lepas tanggung jawab."

"Dava..."

"Dan kalau aku memilih perusahaan, aku akan kehilangan kamu. Aku sudah janji kan, Aku akan kasih kamu kepastian setelah perusahaan aku stabil. Aku cuma minta waktu dan pengertian dari kamu."

Vanilla mengangguk tanda mengerti. Ia meletakan cangkir yang dipegangnya keatas meja, lalu menarik tangan Dava dan menggenggamnya. "Aku gak bermaksud kasih kamu pilihan yang sulit. Aku ngerti keadaan kamu, dan aku paham. Lagi pula aku juga bilang kan, aku akan perjuangin kamu. Menunggu adalah salah satu konsekuensi dari tindakan yang aku ambil. Tapi satu hal Dav, aku gak mau kejadian seperti apa yang di ceritakan orang terjadi lagi. Kamu tahu kan sudah terlalu banyak drama di kisah kita?"

"Disini juga aku berusaha. Berusaha untuk jadi seseorang yang layak untuk kamu. Aku gak mau suatu saat nanti kamu menyesal atas pilihan kamu. Aku gak mau kekuranganku menjadi penghalang kehidupan kamu. Dav, aku gak normal, kamu tahu itu kan?"

Dadanya Vanilla terasa sesak setiap kali ia mengingat bahwa dirinya tidaklah normal. Tanpa bantuan psikiater, Vanilla tidak akan bisa menjalani kehidupannya. Jujur saja, kekurangan yang Vanilla miliki adalah hal yang paling Vanilla takutkan. Vanilla takut jika suatu saat nanti, kekurangan yang ada pada Vanilla membuat orang-orang yang Vanilla sayang menjalani kehidupan yang sulit. Karena itu ia berusaha untuk kembali normal agar bisa berakhir bahagia dengan orang yang ia sayang.

"Benar kata Reza, aku orang yang paling beruntung."

Alis Vanilla berkerut, "beruntung kenapa?" tanya Vanilla bingung.

"Beruntung karena dicintai oleh wanita seperti kamu."

Satu kalimat dalam satu tarikan napas yang mampu membuat pipi Vanilla bersemu merah dan terasa sedikit memanas. "Mau ngegombal lagi?"

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now