Sembilan Belas

20.2K 2K 266
                                    

Makan siang bersama adalah hal paling membosankan bagi Dava. Apalagi makan siang kali ini sekaligus pertemuan antara keluarga Dava dengan keluarga Soraya yang baru saja resmi menjadi rekan kerja. Bahkan sejam hampir setengah jam lamanya, keluarga mereka hanya membicarakan perihal bisnis dan saham, itu lebih baik ketimbang membicarakan hubungan Dava dengan Soraya.

"Bagaimana kinerja Soraya selama jadi sekertaris kamu?" pertanyaan tersebut tiba-tiba saja terlontar dari mulut Ayah Soraya, membuat Dava langsung lupa bagaimana cara menelan makanan.

Dengan susah payah akhirnya Dava berhasil menelan daging yang sempat nyangkut di tenggorokannya, "sangat profesional," jawab Dava singkat karena tak ada hal lain selain kata profesional yang terlintas di benaknya.

"Sudah sesuai dengan kriteria wanita yang akan kamu nikahi?"

Pertanyaan macam apa ini, batin Dava. Dava hanya bisa mengembangkan senyum terpaksa dan tidak menjawab. Memang Soraya bisa di bilang hampir sesuai dengan kriterianya, namun tetap saja hati Dava tidak memilih Soraya. Dava yakin Soraya juga sepemikiran dengannya. Terlihat dari gesture dan raut wajah Soraya yang terkesan di buat-buat.

"Soraya masih ingin melanjutkan pendidikan, Pa.." sahut Soraya.

"Kan bisa setelah menikah," jawab Ayahnya. "Dava pasti tidak akan melarang Soraya melanjutkan pendidikannya setelah menikah nanti kan?"

Lagi lagi Dava hanya diam, menunjukkan ekspresi menurut. Jangankan menikah, untuk menjalin hubungan dengan seseorang saja Dava belum kepikiran. Saat ini Dava hanya fokus pada pekerjaannya dan juga masa lalu yang beberapa waktu belakangan ini mulai mengusik kehidupannya.

Untungnya dering ponsel Dava menginterupsi kalimat yang tak henti-hentinya terlontar dari mulut Ayah Soraya. Dalam hati Dava berterima kasih pada Jason yang menelponnya, ia pun segera berdiri dan berpamitan hendak mengangkat telpon.

"Halo?"

"Ternyata benar selama ini Vanilla ada di Paris," ujar Jason dari ujung telpon. "Beberapa hari yang lalu gue datang ke apartemen dia, dan ternyata Vanilla udah pindah sekitar satu tahun yang lalu."

"Kemana?"

"I have no idea. Setelah lulus Vanilla langsung pindah dan gak ada yang tau dia pindah kemana. Mungkin masih di Eropa, atau ke negara yang punya peluang besar dalam bidang fashion."

Dava hanya menghela napas mendengar penjelasan Jason. Tak hanya itu, Dava juga berdebat dengan hati serta pikirannya. Beberapa waktu lalu Dava mengucapkan selamat tinggal pada Vanilla, namun beberapa hari yang lalu Dava memohon pada Jason untuk membawa kembali mantan kekasihnya itu.

"Dav, are you there?"

"Ya,"

Jason mendengus, "untuk satu minggu kedepan gue gak bisa kabarin apa-apa ke lo. Gue mau pergi ke Milan, ada berkas yang harus gue ambil di kampus."

"Oke."

"Itu doang?" protes Jason, "gila ya, gue udah ngeluarin duit untuk bolak-balik nyari Vanilla, dan lo jawab dengan kata 'iya' dan 'oke'!?"

"Terus gue harus jawab apa?"

"Terserah lo deh," Jason memilih untuk mengalah. "Kayaknya gue bakal mikir dua kali untuk kasih lo kesempatan balik sama adik gue. Gue cuma gak bisa bayangin aja hidup adik gue bakal jadi membosankan apa karena punya pacar apatis dan monoton kayak lo." Tut. Jason langsung mematikan sambungan telpon tersebut secara sepihak.

Dava melirik layar ponselnya sekilas, lalu memasukkannya ke dalam saku dan kembali menemui orang-orang yang tadi di tinggalnya.

Saat Dava kembali, ternyata mereka sedang asik mengobrol, makanan di atas piring pun sudah tidak bersisa, kecuali piring Dava, dan pria itu sudah tidak berminat untuk melanjutkan makannya.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now