Empat

21.3K 2.8K 130
                                    

Setelah pertama kali semenjak pergi tanpa jejak, Vanilla menghirup kembali udara kampung halamannya. Meski sama, tetap saja Vanilla lebih merasa nyaman. Lantunan lagi yang di dengarkan Vanilla menggunakan headphonenya membuat Vanilla sedikit bernostalgia. Samar-samar ia mengingat, bagaimana rasanya kembali setelah bertahun-tahun lamanya tinggal bersama keluarga Gustavo. Berat, namun Vanilla selalu berusaha untuk memperbaiki hubungan keluarganya yang sempat hancur.

Vanilla memesan sebuah taksi bandara dan memberikan sebuah alamat kepada sang supir. Harapan Vanilla, semoga saja orang yang ia datangi kali ini masih tinggal di tempat yang sama, dan Vanilla harap, ia tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenalinya. Bukan tidak ingin bertemu, Vanilla hanya belum siap.

Perjalanan dari bandara menuju daerah Jakarta timur cukup membuat Vanilla kelelahan, belum lagi di tambah dengan macet yang memperlama perjalanan yang ia tempuh. Setelah memberika bayaran kepada supir yang mengantarnya, Vanilla langsung memasuki tower D dari apartemen di hadapannya. Segera Vanilla masuk ke dalam lift dan menekan tombol yang berangka dua puluh delapan.

Lift terbuka, Vanilla langsung melangkah keluar dan menelusuri lorong untuk mencari kamar bernomer duaratus delapan puluh yang berada persis di ujung lorong. Vanilla pun langsung mengetuk pintu apartemen itu berulang kali, hingga ada yang membukakan pintu untuknya.

"Iya, cari siapa ya--- Ica?" ucap orang itu dengan ekspresi terkejut melihat kehadiran Vanilla.

Vanilla mengembangkan senyumnya, "hai," sapa Vanilla canggung.

Selama beberapa menit, suasana canggung tercipta diantar mereka, hingga si pemilik apartemen menyuruh Vanilla masuk dan mengunci kembali pintunya.

"Gue kira lo lupa sama gue," ujar Vanilla sembari memperhatikan isi apartemen yang ia masuki dan mendaratkan pantatnya di sofa.

Pemilik apartemen itu adalah Vebby, teman sekelas Vanilla semasa kuliah di Jakarta. Vebby tidak mengenal Vanilla, yang Vebby kenal adalah Vennelica, karena itu tadi Vebby memanggil dengan sebutan Ica, bukan Vanilla.

"Mana mungkin gue lupa sama temen kelas gue yang tiba-tiba hilang kayak di telan bumi." Vebby berkata dengan nada menyindir, membuat Vanilla langsung tertawa.

Vebby menyuguhkan segelas teh hangat ke hadapan Vanilla dan ikut duduk berhadapan dengan Vanilla. "So, setelah sekian lama lo menghilang, kenapa lo tiba-tiba muncul di pintu apartemen gue?" tanya Vebby seolah tahu ada maksud tersembunyi dari kedatangan Vanilla ke apartemennya.

Vanilla tidak langsung menjawab pertanyaan Vebby, ia terlebih dahulu meminum teh yang di suguhkan Vebby untuknya. "Lo tahu Ziko dimana?" tanya Vanilla memulai pembicaran.

Vebby menggeleng, "setelah lo menghilang, gue gak pernah lihat Ziko di kampus. Waktu gue tanya ke teman sekelas dia, katanya Ziko udah pindah ke luar negri."

"Ca, lo kan sepupunya, kenapa malah nanya ke gue!?" ujar Vebby heran.

Vanilla tersenyum getir, "Ziko bukan sepupu gue, dan gue bukan Vennelica Calista. Nama asli gue Vanilla, dan Vennelica itu sepupu Ziko yang udah meninggal karena penyakit jantung."

Mendengar penjelasan Vanilla membuat Vebby melongo tak mengerti. "Wait..." Vebby memperbaiki posisi duduknya. "Maksud lo, lo nyamar gitu? Kayak agen mata-mata?" Dua puluh dua tahun dan masih berpikir yang tidak masuk akal, itulah Vebby yang dikenal Vanilla. Gadis periang yang banyak omong namun memiliki kerja otak yang lambat.

"It's complicated."

"Serius lo agen mata-mata? Lo ke sini karena lagi menjalankan misi dari atasan lo? Anggota apa? CIA? BIN? KGB? M16? NIS?" Vebby bertepuk tangan, "wow! Ternyata gue punya kenalan agen mata-mata."

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now