Lima Puluh Satu

8.5K 1.2K 105
                                    

Dengan berat hati Dava harus meninggalkan Vanilla yang saat ini sedang berada di ruangannya. Andai Vanilla terlebih dahulu bilang, ia akan membatalkan janji dengan investor yang ingin bertemu dengannya.

Dava melajukan mobilnya secepat mungkin, takut jika dirinya terlambat hadir di restoran yang sudah dipesan. Ditambah lagi jalanan kota yang macet pada siang hari membuat Dava kelabakan.

Sembari menunggu lampu merah, Dava mengeluarkan ponselnya, melihat-lihat album foto yang delapan puluh persen berisikan foto Vanilla. Senyum Dava mengembang, ia jadi makin semangat untuk memperbaiki keuangan perusahaannya. Bukan tanpa alasan, ia hanya ingin perjodohan itu dibatalkan dan menikah dengan Vanilla.

Itu sebabnya Dava berusaha untuk mengembalikan keadaan perusahaannya seperti semula, agar ia tidak kehilangan bisnis yang sudah di rintis susah payah oleh orang tuanya.

Bunyi klakson yang cukup nyaring mengejutkan Dava. Ia melirik lampu yang sudah berwarna hijau dan menjalankan kembali mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Dava gusar, ia terus melirik jam di pergelangan tangannya. Dava takut kliennya menunggu kehadirannya terlalu lama. Itu bisa mengurangi pandangan klien terhadapnya.

Saat Dava hampir sampai, tiba-tiba saja ia mendapat telpon yang mengatakan bahwa pertemuan Dava dan kliennya batal karena klien tersebut ada urusan mendadak.

Dava ingin marah, namun tidak bisa. Akhirnya ia hanya menghela napas kasar sembari mengendorkan dasinya yang terasa begitu mencekik. Dava menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia harus bisa mengontrol amarahnya.

Dava langsung teringat oleh Vanilla. Dengan cepat ia memutar balik arah mobilnya kembali menuju kantor. Semoga saja Vanilla masih di ruangannya sehingga ia bisa makan siang bersama Vanilla.

Dua puluh menit kemudian, Dava sudah memarkirkan mobilnya di parkiran kantor. Ketika ia keluar, ia melihat mobil Vanilla yang terparkir, itu tandanya Vanilla masih berada di ruangannya. Dengan langka tergesa-gesa ia langsung masuk ke kantor menuju ruangannya.

Lift berdenting. Ketika Dava keluar, ia melihat beberapa karyawan sedang berkumpul di depan ruangan Dava. Terlihat mereka seperti sedang membicarakan sesuatu.

"Ada apa ini?" tegur Dava membuat para karyawan tersebut langsung terkejut.

Mereka saling tunjuk seolah tidak berani memberitahu apa yang sedang mereka bicarakan.

"Itu, Pak... Saya tadi mau ke antar dokumen yang Bapak minta ke ruangan Bu Soraya, dan saya dengar ada suara vas yang pecah dan suara orang berteriak, Pak."

Dava langsung menerobos masuk dan mengecek ruangannya. Tidak ada Vanilla di ruangan Dava. Dava pun langsung beralih ke ruangan Soraya, dan betapa terkejutnya Dava ketika ia melihat Vanilla yang tergeletak di lantai, terbatuk-batuk dan tangannya berdarah.

Tanpa pikir panjang, Dava langsung masuk menghampiri Vanilla. Ia melihat Vanilla dalam keadaan mengenaskan. Pelipisnya memar dan berdarah, tangannya terluka dan lehernya tergores.

"Dav, aku--"

Dava menoleh tajam kearah Soraya yang berdiri persis di belakangnya. Dava melirik tangan Soraya yang memegang pecahan kaca dengan bercak darah.

Tanpa berkata apa-apa, Dava membantu Vanilla berdiri dan segera membawanya keluar. Andai Soraya bukan seorang wanita, Dava pasti sudah menyerang Soraya. Meski marah, Dava masih ingat untuk tidak melukai seorang perempuan.

"Dava, ini gak seperti yang kamu lihat!"

Teriakan Soraya sama sekali tidak menghentikan langkah Dava dan Vanilla menuju lift.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]On viuen les histories. Descobreix ara