Empat Puluh Lima

7.9K 1.2K 210
                                    

Dava memandang pantulan wajahnya di cermin. Stelan jas abu-abu yang dikenakannya membuat penampilannya semakin mempesona. Ditambah hari ini adalah hari spesial bagi salah satu sahabat Dava, Vino yang akan resmi melepas masa lajangnya. Semalam mereka sempat merayakan pesta bujang sebelum Vino berstatus sebagai suami orang.

Babe, can you...” Vanilla mengarahkan punggungnya pada Dava dan menyisir rambutnya kesamping agar Dava bisa mengaitkan kancing pada bagian belakang gaun Vanilla.

How do i look?”  Vanilla kembali menghadap Dava dan meminta Dava memberi penilaian atas penampilannya.

Dava tersenyum lebar, “gorgeous,” jawab Dava sukses mengembangkan senyum Vanilla.

Vanilla mengambil tasnya yang tergeletak diatas meja, lalu berdiri di depan cermin dan memperhatikan penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rasanya Vanilla tidak percaya bahwa yang ia lihat di pantulan cermin sekarang adalah dirinya. Andai saja hadir di acara resmi seperti ini bisa menggunakan t-shirt dan ripped jeans, Vanilla pasti dengan senang hati akan memakainya.

Ketika sedang asik berkaca, Vanilla dikejutkan dengan Dava yang tiba-tiba melingkarkan tangannya di pinggang seraya menyandarkan dagu di bahu Vanilla dan ikut menatap ke dalam cermin. “Suatu saat nanti, kita yang akan berdiri didepan altar, mengucapkan janji suci dan hidup bahagia bersama selamanya.”

“Indah ya, Dav...”

“Indah siapa? Kamu kan Vanilla, bukan indah.”

Vanilla menghela napas, “impian kita. Indah, tapi gak tahu bisa tercapai atau gak.”

“Memangnya impian kamu menikah sama aku?” tanya Dava dibalas anggukan oleh Vanilla.

Untuk kedua kalinya Vanilla menghela napas. “Kadang gue bertanya-tanya...”

“Aku, bukan gue.” Dava menginterupsi.

“Kan sama aja.”

“Gak! Pokoknya sekarang aku - kamu, bukan Lo - gue lagi.”

Vanilla kembali menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. “Kadang gue-- aku suka bertanya-tanya, kenapa sampai detik ini belum ada kebahagian yang datang. Padahal kisah yang ku lalui sudah serumit dan gak masuk akal kalau dicerna nalar.”

“Gak ada kebahagian yang datangnya secara instan. Harus ada proses yang dilalui dulu untuk bisa bahagia.”

“Kalau dijabarkan satu per satu, mungkin setara sama tumpukan skripsi satu angkatan.”

Dava tertawa. “Kalau kamu tulis, kan bisa jadi pengingat pas lagi nostalgia. Bukannya kamu tipikal orang yang suka mengabadikan setiap momen supaya bisa kamu jadikan kenang-kenangan?”

“Mana aku tahu, kan aku lupa ingatan.”

“Eh iya, bener juga.”

Mereka berdua langsung tertawa bersama, namun tak berselang lama karena tiba-tiba pintu kamar terbuka dan menampilkan Elang dengan jas yang sama persis seperti Dava sembari berteriak, “Astagfirullah mata gue!”

Dava mendengus, “kalau masuk ketuk pintu dulu. Gimana pas Lo masuk tiba-tiba gue lagi main---”

“Main apa?” sahut Vanilla dengan mata memicing.

“Main monopoli maksudnya, atau main Uno bareng kan."

Tiba-tiba sebuah bantal sofa melayang kearah Dava, membuat Dava melepaskan tangannya dari pinggang Vanilla dan menoleh dengan tatapan membunuh.

“Yang mau nikah siapa, yang mesra-mesraan siapa. Makanya anak orang di kasih kepastian woy! Jangan mau enaknya aja Lo!”

Mendengar kalimat Elang yang mendukung Vanilla, Vanilla langsung mengangkat jempolnya dan dibalas kedipan sebelah mata oleh Elang.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now