Tiga Puluh

17.1K 2.4K 319
                                    

Sembari menyesap kopinya, Vanilla berdiri menatap kearah kolam yang berada persis di bawah balkon kamarnya. Pagi hari yang sama sekali tidak pernah dirasakan Vanilla sebelumnya. Entah mengapa moodnya pagi ini sangat bagus. Ia teringat akan hal semalam, dimana ia berhasil melepas rindu dengan pria dari masa lalunya. Selain itu, Vanilla juga sedang berusaha kembali mendekatkan diri pada keluarga yang selama ini Vanilla abaikan.

Awal yang bagus untuk memulai hidup baru. Setelah semalaman Vanilla berpikir, akhirnya Vanilla memutuskan untuk tinggal di Indonesia. Lusa Vanilla akan kembali ke Paris, mengemas barang-barangnya dan mengurus segala keperluan untuk kepindahannya. Vanilla belum memutuskan dimana ia akan tinggal. Apakah bersama keluarga kandungnya, bersama keluarga angkatnya, atau malah memilih untuk menyewa apartemen dan tinggal sendiri.

Vanilla menghela napas, dan menoleh sedetik kemudian ketika ia mendengar pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang. Segera Vanilla meletakkan gelasnya di atas meja dan berjalan menuju depan pintu. Ketika di buka, wajah Jasonlah yang terlihat. Selama acara pernikahan Vanessa berlangsung, Vanilla sama sekali tidak melihat Jason. Jason bagaikan seseorang yang mampu berteleportasi dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu singkat.

"Lo serius kan sama keputusan lo?" tanya Jason masih tidak percaya dengan keputusan Vanilla untuk kembali. "Yakin lo bisa ngelupain segala sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu?"

Vanilla menyenderkan kepalanya, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya. "Bukannya gue memang lupa sama apa yang pernah terjadi sejak gue hilang ingatan? ingatan gue gak akan pulih secepat itu. Butuh waktu bertahun-tahun, atau bahkan gak akan pernah bisa kembali sepenuhnya."

Dari nada bicara Vanilla, terselip pesan tersirat yang menyatakan bahwa sebenarnya Vanilla hanya ingin tahu, apa yang menyebabkan dirinya hilang ingatan. Jason yakin Vanilla bukan orang yang pendendam, ia hanya ingin hidup normal seperti yang lain. Tidak dihantui dengan mimpi buruk ataupun hal-hal negatif yang selalu ada di pikiran Vanilla.

Vanilla kembali menghela napas. "Mungkin memang sulit, tapi sebisa mungkin gue akan berusaha. Sekarang gue tahu, apa tujuan gue dan apa keinginan gue."

"Apa?"

"Sederhana," jawabnya sembari mengambil kartu kamarnya dan menutup pintu. "Gue cuma mau bahagia," lanjut Vanilla berjalan meninggalkan Jason.

Jason tersenyum dan segera berlari mengejar Vanilla. Dalam hati Jason bersorak karena ia berhasil membuka pikiran Vanilla agar tidak terus menerus hidup dalam kebimbangan dan kesendirian. Kali ini Jason tidak akan membiarkan apa yang dulu pernah terjadi kembali terulang.

*****

Vanilla berhenti sejenak ketika melihat suasana restoran yang cukup ramai. Matanya terarah ke sudut ruangan tempat dimana keluarga besarnya saat ini sedang berkumpul. Dari sudut pandang Vanilla, mereka semua tampak bahagia merayakan kehidupan baru Vanessa. Vanilla jadi sedikit ragu, apakah ia bisa bersikap normal seolah semua baik-baik saja, atau malah menjadi canggung.

"Welcome back, Vanilla..." Bisik Jason melewati Vanilla menuju tempat keluarga mereka.

Dengan sedikit menarik napas dan meyakinkan dirinya, Vanilla kembali melangkah dengan senyum yang mengembang di sudut bibirnya.

"Morning," sapa Vanilla membuat semua orang menoleh dan membalas sapaannya.

Vanilla langsung menarik kursi kosong yang berada persis di samping Kakak tertuanya, Zero. Ketika duduk, Vanilla merasa detak jantungnya berpacu sangat cepat. Kilas bayangan terlintas di pikiran Vanilla mengenai Zero, namun segera di tepis oleh Vanilla. Ia tidak mau menghancurkan pagi harinya yang indah.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang