Enam Puluh Satu

3.8K 508 10
                                    

"Papa tidak setuju! Perempuan seperti itu tidak pantas untuk menjadi istrimu."

Dava terperangah mendengar penolakan keras yang keluar dari mulut Ayahnya. Setelah Vanilla mengundurkan diri dan tidak kembali untuk waktu yang lama, Dava mencoba berbicara empat mata dengan Ayahnya. Dava ingin Ayahnya yakin dengan apa yang ia ucapkan mengenai Vanilla.

"Pa, Vanilla gak seburuk yang Papa bayangkan."

Pria paruh baya itu mendengus. "Kalau apa yang dikatakan Soraya benar, bagaimana masa depanmu? Kamu mau berakhir tragis hanya karena memiliki istri seperti dia?"

"Jangan keburu menghakimi, Pa. Apa yang di katakan Soraya tadi itu berlebihan," sanggah Dava membela wanita pujaannya.

Ayah Dava mengibaskan lengan. "Sudah! Pokoknya Papa tidak setuju dengan pilihanmu. Lebih baik kamu menyetujui perjodohanmu dengan Soraya. Soraya jauh lebih baik dari dia. Kamu bisa bahagia bila hidup bersama Soraya." Sudah berkata seperti itu, lantas Ayah Dava berlalu begitu saja meninggalkan Dava yang langsung mengumpat.

Tanpa sepengetahuan Dava, ternyata Vanilla menguping dari balik tembok. Ia baru saja keluar dari toilet ketika tak sengaja melihat Dava sedang berbicara serius dengan Ayahnya. Karena penasaran, akhirnya Vanilla memutuskan untuk mendekat dan bersembunyi. Ia mendengar seluruh pembicaraan Dava dengan Ayahnya yang sukses membuat dada Vanilla terasa sesak.

Vanilla mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan mengirimkan pesan pada Dava.

Dav, bisa antar gue pulang sekarang?
Gue tunggu di depan ya.

Setelah memastikan pesan tersebut terkirim ke ponsel Dava, Vanilla langsung pergi menuju halaman depan rumah Dava. Sembari menunggu, ia mencoba untuk meredakan rasa sesak di dadanya. Perkataan Ayah Dava kembali terngiang dan membuat Vanilla berpikir, apa mungkin jika Dava hidup bersamanya, maka akan berakhir tragis?

Matanya mulai terasa panas dan memerah. Ia segera mendongak ke langit agar air matanya tidak jatuh. Seharusnya Vanilla mendengarkan perkataan Jason tadi. Ia terlalu percaya diri hingga membuatnya lupa bahwa Soraya bukan sosok orang yang gampang untuk di kalahkan.

"Sudah gue bilang kan, lo gak akan pernah menang dari gue." Kalimat tersebut membuat Vanilla membalikkan badan dan melihat Soraya yang tersenyum sembari memperlihatkan ponsel Dava di genggamannya.

Soraya melangkah maju mendekati Vanilla hingga jarak mereka tersisa beberapa senti saja. "Gue bisa melakukan apa aja untuk menghancurkan siapapun yang mencoba untuk menghalangi gue," ucapnya.

"Gue gak akan pernah kalah dari lo!"

Soraya tertawa. "Vanilla, Vanilla... masih aja berharap sama hal yang gak pasti."

Kali ini Vanilla tidak bisa menyahuti Soraya karena pikirannya yang sedang berkeliaran kemana-mana. Jika Vanilla menunjukkan kelemahannya dihadapan Soraya, Soraya pasti akan memanfaatkan hal tersebut untuk terus memojokkan Vanilla. Vanilla sudah berjanji untuk tidak membuat kekacauan sedikitpun, jadi ia akan mencoba menahannya.

Vanilla menarik napas dalam-dalam. Ia pergi dari hadapan Soraya. Melihat ponsel di tangan Soraya tadi membuat Vanilla yakin bahwa Dava tidak bisa pergi kemana-mana. Akhirnya Vanilla memutuskan untuk pulang sendiri.

"Bye-bye biatch!" seru Soraya tak dipedulikan Vanilla.

Vanilla tidak tahu kemana arah rumahnya. Ia hanya mengikuti langkah kakinya yang tidak terarah. Pikirannya terus mengingat setiap kata yang di ucapkan Ayah Dava. Rasanya sakit bagaikan ditikam ribuan jarum.

Karena terlalu sesak, Vanilla sampai tidak sanggup melanjutkan langkahnya. Ia berjongkok di pinggir jalan yang sepi dan menangis sejadi-jadinya. Vanilla bodoh karena termakan omongan Soraya. Ia merasa tidak berguna karena kalah telak dari Soraya. Padahal Vanilla bisa mengatakan hal yang sama tentang Soraya, namun karena keadaannya yang memburuk membuat Vanilla tidak bisa berbuat apa-apa.

***

Selama acara berlangsung, selama itu pula Dava mencari keberadaan Vanilla yang menghilang begitu saja. Ia menemukan ponselnya tergeletak diatas meja makan tanpa ada satu pun pesan dari Vanilla.

Setelah acara selesai, Dava memutuskan untuk mendatangi tempat tinggal Vanilla dengan maksud meminta maaf. Namun ketika di perjalanan, Dava melihat Dava duduk sendiri di tepi jalan dengan tatapannya yang kosong. Entah sudah berlama Vanilla duduk disana, termangu sendiri dengan matanya yang sedikit sembab. Akhirnya Dava berhenti dan mengantarkan vanilla pulang.

Selama perjalanan pun Vanilla hanya diam memandang jalanan di luar jendela. Vanilla tidak menghiraukan setiap kata yang Dava ucapkan. Lebih tepatnya Vanilla tidak mendengar ucapan Dava. Telinganya seolah tuli karena dipenuhi dengan perkataan-perkataan yang ia dengar saat berada disana.

"Vanilla..." tegur Dava setelah menghentikan mobilnya persis di depan teras.

Vanilla tersadar, ia langsung melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari dalam mobil Dava. Pergerakannya kalah cepat karena Dava terlebih dahulu menahan pergelangan tangan Vanilla.

"Lo dengan obrolan gue sama bokap gue?" tanya Dava curiga.

"Eh? Enggak," jawab Vanilla berbohong. "Memangnya kalian obrolin apa?"

Dava menggeleng. "Bukan apa-apa."

Vanilla menatap tangan Dava yang masih memegangi pergelangan tangannya. "Dav, bisa gue keluar sekarang?" tanya Vanilla langsung membuat Dava melepaskan cekalannya. Vanilla mengembangkan senyum tipis dan keluar dari dalam mobil Dava.

"Emm... besok lo mau gue antar ke butik?" tanya Dava.

"Gue bisa pergi sendiri, kok. Dan kayaknya untuk beberapa waktu ke depan gue bakalan sibuk, jadi gue gak bisa hubungin lo." Bohong. Vanilla hanya ingin menghindar dari Dava untuk sementara waktu.

"Kalau gitu gue masuk dulu ya, bye."

Vanilla membalikkan badan dan masuk ke dalam rumah tanpa menunggu mobil Dava pergi terlebih dahulu. Berulang kali Vanilla menghela napas, meyakinkan bahwa menghindar adalah pilihan terbaik untuknya saat ini. Vanilla perlu waktu untuk menjernihkan pikirannya, jadi ia memutuskan untuk tida berhubungan dengan Dava.

"Nil, lo—" kalimat Jason menggantung ketika ia melihat Vanilla berjalan lurus melewatinya begitu saja. Vanilla langsung naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar tanpa berbicara apa-apa pada Jason yang sedari tadi menunggunya pulang.

Vanilla mengunci pintunya serapat mungkin dan bersender dibaliknya. Ia tidak mau munafik. Perkataan yang masih terngiang dikepala Vanilla membuat hatinya kembali melongos. Ia jatuh terduduk dan pada akhirnya kembali menangis.

***

Minggu, 07 Maret 2021

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now