Empat Puluh Tiga

9.2K 1.3K 139
                                    

Vanilla sedang sibuk memperhatikan progres gedung yang sedang dibangunnya. Progressnya masih tiga puluh persen, namun Vanilla sudah bisa membayangkan bagaimana rupa gedungnya nanti. Akhirnya, impian Vanilla perlahan mulai terwujud. Ia akan segera memiliki butik sendiri.

Handphone Vanilla bergetar, ia meminta izin pada mandor yang sedang berbicara padanya dan pergi mengangkat telepon.

"Halo?"

"Halo, sayang bisa antarin berkas di meja kerja aku gak? Ada di kamar apartemen."

Vanilla sempat terkejut, ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan memperhatikan layar ponselnya. "Sekarang?" tanya Vanilla.

"Kalau bisa sekarang. Hari ini ada rapat dan aku lupa bawa berkasnya."

Aku - kamu terdengar cukup asing dan menggelitik telinga Vanilla.

"Bisa kan?" tanya Dava dari sambungan telpon.

"Eh... Iya, bisa kok. Nanti aku antar ke kantor kamu," jawab Vanilla.

Dava langsung mematikan sambungan teleponnya,  sementara Vanilla berpamitan dengan orang yang tadi sedang berdiskusi dengannya dan bergegas menuju apartemen Dava.

Untungnya jarak apartemen Dava tidak terlalu jauh, sepuluh menit dan ia sudah sampai di basemen apartemen. Ia segera menuju lift yang mengantarnya ke lantai unit apartemen Dava. Kemarin Dava sudah memberitahu password apartemennya, jadi Vanilla tidak perlu lagi bertanya dan anggap saja ia masuk ke apartemennya sendiri.

Vanilla agak takjub ketika masuk, karena Dava yang bersih dan rapih. Sama ketika kemarin ia datang kemari. Ketika masuk ke kamar Dava, tak banyak yang bisa dilihat. Dindingnya hanya berupa cat putih tanpa hiasan apapun, gorden berwarna coklat, sebuah kasur, meja kerja dan lemari pakaian.

Matanya melihat sebuah berkas di dalam map yang tergeletak di meja kerja. Tanpa berniat menjelajah lebih jauh lagi, Vanilla memutuskan untuk langsung mengambil berkas tersebut dan segera mengantarnya ke kantor Dava.

Jujur, Vanilla sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kantor Dava. Karena itu ia membutuhkan sedikit bantuan maps dan berhasil membuatnya berkeliling di tempat yang sama beberapa kali. Akhirnya setelah memutuskan untuk mengikuti instingnya ketimbang maps, Vanilla pun sampai di depan sebuah gedung tinggi yang menjadi tempat bekerja Dava.

Dari luar memang terlihat sepi, tapi ketika masuk, cukup ramai. Ada beberapa orang yang berlalu lalang. Ada satpam yang menjaga di depan dan dua orang resepsionis di lobby gedung.

"Permisi Mba..." ujar Vanilla menghampiri meja resepsionis. "Ruangan Dava dimana ya? Saya mau kasih berkas dia yang ketinggalan."

"Maaf, mba siapanya Pak Dava ya? Sudah buat janji?"

"Eh..." Vanilla bingung harus menjawab apa jika ditanya ia ada hubungan apa dengan Dava. Status mereka saja tidak jelas bagaimana.

"Dia calon istri saya."

Kalimat itu sontak membuat Vanilla dan dua resepsionis yang berhadapan dengan Vanilla menoleh secara bersamaan kearah Dava yang berjalan menghampiri Vanilla.

Vanilla sendiri tidak mengucapkan apa-apa. Ia hanya berulang kali berkedip dan merasa malu dengan kalimat Dava tadi. Apalagi sekarang ada beberapa pasang yang menatapnya sembari berbisik satu sama lain.

Tanpa menjelaskan lebih lanjut, Dava menarik tangan Vanilla hingga terhuyung dan otomatis Vanilla langsung mengikuti langkah kaki Dava. Mereka bersama-sama masuk ke dalam lift dan Dava menekan nomer tiga puluh tujuh, tempat dimana ruangannya berada.

Vanilla benar-benar tidak berbicara hingga mereka sampai di ruangan Dava.

"Kenapa diam?" tanya Dava heran melihat Vanilla yang diam seolah bingung. Vanilla hanya menggelengkan kepala lalu memberikan berkas yang diminta Dava. Dava pun memberi senyuman lebar, "terima kasih cantik."

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang