Lima Puluh

6.9K 1.3K 245
                                    

Pukul sebelas siang, Vanilla sudah memarkirkan mobilnya di parkiran kantor Dava. Ia melihat mobil Dava juga terparkir disana, itu tandanya Dava sedang berada di kantor.

Vanilla agak sedikit kecewa, karena ia berharap Dava tidak ada di kantor dan hanya ada sekretaris pribadi Dava, Soraya. Vanilla tak sabar ingin menyapa wanita itu entah untuk ke berapa kalinya.

Ketika Vanilla memasuki lobby, dua resepsionis yang menjaga langsung memberikan tatapan tidak bisa diartikan pada Vanilla. Vanilla tidak peduli dengan tatapan tersebut, ingat apa yang di katakan Dava tempo lalu, Vanilla bebas kapan saja ke kantor Dava tanpa perlu bertanya pada resepsionis terlebih dahulu.

Sesampainya di depan lift, Vanilla membuka kaca mata hitam yang ia kenakan. Orang-orang yang ikut berdiri di samping Vanilla seperti sedang saling berbisik melihat Vanilla yang terlihat begitu angkuh.

Dalam hati Vanilla tertawa. Jika ingin membicarakan seseorang, langsung saja katakan dengan keras, jangan hanya berani berbisik dengan lain. Itu terdengar seperti seorang pecundang yang tidak berani berhadapan langsung serta bermuka dua.

Lift berdenting dan terbuka. Orang-orang langsung menerobos masuk dan menekan tombol agar pintu lift segera tertutup. Kali ini Vanilla tertawa, namun bukan di dalam hati. Para karyawan Dava terlihat sangat tidak suka dengan kehadiran Vanilla.

Ketika Lift hampir tertutup rapat, Vanilla memajukan kakinya hingga pintu tersebut kembali terbuka. Vanilla mengembangkan senyum lebar di sudut bibirnya seraya melangkah masuk. Vanilla langsung menekan tombol lantai tempat ruangan Dava berada.

Samar-samar Vanilla mendengar namanya dan nama Soraya dalam percakapan orang-orang di belakangnya. Vanilla tebak, Soraya pasti menyebarkan rumor buruk tentangnya. Mungkin Soraya mengatakan pada seluruh penghuni kantor bahwa Vanilla adalah wanita yang merebut Dava dari Soraya.

Ah, Vanilla semakin tidak sabar ingin bertemu Soraya. Keinginannya sudah tidak bisa di tahan dan harus terpenuhi segera.

Satu per satu para karyawan keluar, menyisakan Vanilla sendiri di dalam lift. Ia melihat pantulan wajahnya di dinding lift. Lipstick merah yang ia kenakan begitu kontras dengan pakaiannya yang serba hitam hari ini.

Vanilla yang biasa mengurai rambutnya, kini mengikatnya. Vanilla juga memasang tindiknya di telinga. Padahal Vanilla jarang menggunakan aksesoris. Bukan jarang, tapi hampir tidak pernah. Vanilla memakai aksesoris dalam keadaan tertentu saja.

Lift kembali bertenting dan terbuka. Langkah kakinya menggema ke seluruh ruangan. Tujuan pertamanya kali ini adalah pergi ke ruangan Dava.

Vanilla mengetuk pintu ruangan Dava dan terdengar suara yang memperbolehkannya masuk. Senyum Vanilla mengembang. Ia pun membuka pintu tersebut dan masuk ke dalam.

Vanilla melihat Dava yang sedang berkutat di balik laptopnya. "Hi, babe," sapa Vanilla dengan senyum lebarnya.

Dava mendongak dan terkejut dengan kehadiran Vanilla. Dava rasa Vanilla tidak berkata ingin datang ke kantornya. "Hai.." Dava balas menyapa. "Kok gak ngomong kalau mau kesini?"

Vanilla tersenyum dan duduk di sofa. "Tadi aku lewat sini, dan tiba-tiba mau mampir, mau ajak kamu makan siang."

"Kenapa gak bilang? Aku udah ada janji makan siang bareng klien."

"Sama sekretaris kamu juga?"

Dava menggeleng, "dia tetap di kantor. Kenapa?"

Perfecto.

Vanilla kembali tersenyum dan menggelengkan kepala, "enggak, cuma nanya doang."

"Kalau kamu mau makan siang bareng, aku bisa kok batalin--"

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now