Dua Puluh Enam

25K 2.5K 459
                                    

Jason menarik selimut hingga batas leher Vanilla, ketika adiknya itu sudah mulai tertidur lelap. Rasanya Jason ingin menangis, tapi sebisa mungkin ditahannya karena tidak ingin membuat adiknya itu merasa bersalah. Setelah pertemuannya tadi, Vanilla sempat mengamuk sebelum akhirnya di suntikkan obat penenang oleh Sandra. Jason juga sudah mengabari keluarganya bahwa ia bertemu dengan Vanilla di Paris, dan akan membawa Vanilla pulang.

Jason menatap lekat wajah Vanilla yang terlihat tirus, tubuhnya semakin kurus dan matanya nampak cekung serta terlihat pucat. Jason ingin melihat iris abu-abu Vanilla yang begitu indah, senyum lebar yang menawan, dan sikap ceria Vanilla yang sangat Jason rindukan. Jika Jason bisa memutar waktu, ia akan kembali ke masa dimana ia selalu menjaga adik kesayangannya itu.

Puas menatap Vanilla, Jason mendaratkan kecupan di puncak kepala Vanilla dan meninggalkan adiknya itu untuk beristirahat. Ia menghampiri Vino dan Sandra yang sedang bersitegang di ruang makan. Sandra meminta penjelasan, namun Vino dan Jason sama sekali belum bersuara.

"Gue gak mau tahu, salah satu dari kalian harus jelasin ke gue, sekarang!" perintah Sandra dengan kedua tangannya yang di lipat di depan dada seraya menatap Vino tajam.

Vino mendengus, ia tidak ingin meladeni Sandra yang sedang emosi. Benar kata Vanilla, bagaimana bisa ia jatuh hati pada wanita seperti Sandra. Wanita yang sangat sangat jauh dari kriteria Vino.

Jason menarik kursi di samping Vino dan duduk sembari menghela napas. "It's complicated, Sandra," ucap Jason bingung hendak menjelaskan mulai dari mana.

"Jujur, gue gak mau tahu tentang urusan kalian. Gue cuma mau tahu keadaan Vanilla. Gue bingung karena selama ini, bertahun-tahun, Vanilla minum obat penenang mulu. Lo berdua gak kasihan?"

Jason kembali menarik napas dan menghembuskan. "Vanilla itu nyaris sempurna," ujarnya mulai bercerita. "Vanilla itu berbeda dari kebanyakan orang. Sejak umur satu tahun Vanilla sudah lancar berbicara, di umur dua tahun sudah bisa menggambar dan bermain piano, di umur tiga tahun Vanilla bisa berbicara banyak bahasa, dan di umur lima tahun, pola pikir Vanilla sudah seperti orang dewasa."

"Bokap gue dan bokap Vanilla sahabatan, sejak mereka SMP sampai mendirikan perusahaan bersama. Tapi perusahaan keluarga Vanilla nyaris bangkrut, lalu ada seseorang yang berminat untuk memberikan investasi dengan syarat, Vanilla harus di adopsi. Sayangnya orang itu terlibat dalam sindikat penjualan anak dan sudah menjadi buronan selama beberapa tahun. Setelah bokap gue dengar berita itu, bokap gue marah besar. Bokap gue marah karena keluarga Vanilla lebih mementingkan perusahaan di banding anak kandung mereka sendiri. Akhirnya Bokap gue memutuskan untuk mencari Vanilla, dan sejak saat itu Vanilla resmi masuk di keluarga besar gue sebagai anak angkat yang sah."

"Vanilla sosok yang periang, ceria, ceroboh, dan dia tahu bagaimana cara untuk membuat orang nyaman di sekitarnya. Vanilla pintar, berbakat, semua orang memuji Vanilla. Di umur Vanilla yang baru delapan tahun, Vanilla tampil di acara resital musik dan berhasil mendapatkan tawaran beasiswa di beberapa sekolah seni internasional. Tapi Vanilla memilih untuk tetap di sekolah lamanya, bersama Vanessa, kakak kembarnya. Bahkan Vanilla berjanji untuk terus menjaga Vanessa, karena Vanessa berbeda dengan Vanilla."

Jason memberi jeda pada ceritanya. Dadanya terasa sesak karena berusaha menggali kenangan masa kecilnya bersama Vanilla.

"Di umur sepuluh tahun, orang tua gue sadar ada yang aneh dari Vanilla. Terkadang Vanilla suka meremehkan orang lain, egois, menyebut dirinya sendiri lemah, dan ucapannya tidak seperti anak umur sepuluh tahun pada umumnya. Tapi hal itu terlihat setiap kali Vanilla merasa kesepian."

"Di umur tiga belas tahun, Vanilla kecelakaan, karena kecelakaan itu Vanessa jatuh koma, dan Kevin, sahabat Vanilla meninggal. Kakak tertua Vanilla menyalahkan Vanilla atas insiden tersebut, dan akhirnya Vanilla memutuskan untuk menjadi pendonor ilegal untuk kembarannya. Sejak saat itu, Vanilla sedikit berubah karena depresi, trauma, dan karena kepribadian lain di dalam diri Vanilla. Akhirnya Vanilla di masukan ke dalam rumah sakit jiwa oleh keluarganya sendiri."

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now