Tiga Puluh Tiga

17.9K 2.1K 439
                                    

Tiga puluh menit berada di dalam kamar mandi, akhirnya Dava selesai membersihkan dirinya. Dengan handuk yang di lilitkan ke pinggang serta air yang masih menetes dari rambutnya, Dava keluar menuju kasur tempat dimana Vanilla meletakkan baju Jason yang akan ia pinjam.

Sejenak Dava langsung teringat sesuatu. Berhubung ia sedang berada di kamar Vanilla sendiri, bagaimana jika ia melihat-lihat isi kamar Vanilla. Dava penasaran hal apa saja yang ada di kamar wanita itu.

Kamar Vanilla cukup besar, dengan sebuah king size bed, sebuah lemari pakaian, meja kerja, meja rias, sofa dan juga sebuah televisi. Kamar Vanilla terlihat sangat rapih dengan nuansa putih biru, warna kesukaan Vanilla.

Di meja kerja Vanilla terdapat sebuah laptop, tumpukan berkas, beberapa buku, dan beberapa gambar yang mungkin belum di bereskan Vanilla. Di meja riasnya terdapat beberapa alat make up seperti kebanyakan wanita pada umumnya. Ketika Dava berjalan kearah lemari, ia menemukan sebuah pintu persis di sampingnya. Dava pun iseng memutar kenop pintu tersebut, dan terbuka.

Ada ruang sempit yang tersembunyi di kamar Vanilla. Ketika Dava masuk, ia hanya menemukan sebuah meja dan rak buku kecil, namun yang membuat Dava takjub adalah, banyak foto yang tertempel di dinding ruangan tersebut. Bahkan ada beberapa foto Dava, serta teman-temannya yang lain. Suasana kamar Vanilla persis seperti beberapa tahun lalu, waktu Dava datang ke apartemen pribadi Vanilla sehari setelah pemakaman Vanilla. Ternyata Vanilla masih gemar mengoleksi foto dan menggantung atau menempelnya ke dinding.

"Dav, Lo udah---" kalimat Vanilla menggantung ketika ia melihat Dava keluar dari ruang kecil di dalam kamarnya. "Lo ngapain?" tanya Vanilla.

"Lihat-lihat aja," jawab Dava sama sekali tidak merasa berdosa.

"Apa yang lo lihat?"

"Nih," Dava mengangkat beberapa foto yang ia lepas dari ruang tersebut. "Lo dapat foto gue dari mana?" kini gantian Dava yang bertanya.

Vanilla berdeham, mencoba menetralkan suaranya agar tidak terbata-bata. "Sebelum gue ketemu Lo, gue sering dapat email dari seseorang yang berisikan foto-foto Lo dan teman-teman yang lain," jawab Vanilla jujur.

Alis Dava terangkat, "siapa?"

"Michelle."

"Pacar Jason?"

Vanilla menganggukkan kepalanya. "Dia yang selama ini diam-diam bantuin gue supaya gue bisa ingat kalian semua secara perlahan."

Dava langsung menghembuskan napas dan meletakan foto-foto yang ia ambil ke atas meja. "Mysterious girl," gumam Dava sembari memakai kaos yang sedari tadi sudah tergeletak di atas kasur. "Terus, apa yang Lo ingat dari Michelle?"

"Gue..." lagi-lagi Vanilla menggantungkan kalimatnya. "Gue gak ingat apa-apa tentang dia." Nada suara Vanilla pelan dan terdengar seperti tercekat.

Otomatis Dava langsung menatap Vanilla yang raut wajahnya berubah. Tangannya langsung menarik Vanilla dan mendudukan wanita itu di pinggir kasur seraya memegang kedua pundak Vanilla.

"Michelle itu, orang yang selama ini bantuin Lo lepas dari masa lalu," ujar Dava memberitahu Vanilla peran Michelle di masa lalu mereka.

"Maksudnya?"

"Sepuluh tahun yang lalu, Lo balik dari Jerman dan tinggal di Indonesia. Awalnya semua berjalan lancar, sampai suatu hari ada seseorang yang memiliki obsesi untuk menghancurkan keluarga Lo dengan cara membunuh lo."

"Vanessa?"

"Bukan," jawab Dava tersenyum tipis. "Intinya, Michelle berjasa di kehidupan lo. Bahkan disaat Lo lupa sama dia, dia masih bantuin Lo. Kalau bukan karena Michelle, mungkin gue dan Lo gak akan bisa bertemu lagi seperti sekarang."

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now