Tiga Puluh Tujuh

12.1K 1.6K 121
                                    

Dava baru saja tiba di kantor ketika ia mendengar seseorang berteriak memanggil namanya. Untung saja suasana kantor masih sepi, belum banyak karyawan yang tiba.

Mendengar teriakan dan suara sepatu hak tinggi yang menggema, Dava mempercepat langkahnya masuk ke dalam lift dan menekan tombol dimana ruangannya berada. Andai saja Dava bisa mengulang waktu, waktunya bersama Vanilla seminggu belakangan pasti akan Dava putar terus.

Berselang lima menit setelah Dava duduk diruangannya, Soraya masuk dengan tatapan memicing kearah Dava. Sedangkan yang ditatap tidak peduli dan fokus pada laptop dihadapannya.

"Dava, kamu dari mana? Seminggu ini gak ada kabar dan gak masuk ke kantor," tanya Soraya dengan nada mengintimidasi.

"Bukan urusan Lo!"

"Jelas urusan aku dong! Aku ini calon istri kamu. Aku harus tahu kamu pergi kemana dan sama siapa."

Dava mendengus, "kata siapa Lo calon istri gue? Dan sejak kapan gue setuju sama perjodohan yang gak masuk akal itu?" balas Dava tajam menusuk, menandakan bahwa ia benar-benar tidak suka dengan wanita yang mengusiknya sekarang.

"Walaupun kamu gak setuju, semua akan berjalan sesuai rencana. Kamu gak bisa menghindar dari aku, Dava."

Dava tidak menjawab. Ia malah sibuk dengan pekerjaan dilaptopnya. Telinga Dava seolah-olah tuli dan tidak bisa mendengar rentetan kalimat yang diucapkan Soraya.

"Dava!" bentak Soraya karena Dava tak menggubrisnya. "Jangan karena aku diam selama kamu pergi, terus sekarang kamu bisa diemin aku kayak gini!?"

Dalam hati Dava tertawa sinis. Selama Dava tidak ada kabar, selama itu pula Soraya terus menghubunginya dengan berbagai cara. Bahkan Vino, Elang dan Reza pun sampai diteror oleh Soraya. Betapa terobsesinya Soraya ingin menjadi pendamping hidup Dava.

Dava tak bisa membayangkan bagaimana masa depannya jika ia benar menikah dengan Soraya. Sudah dipastikan tidak ada kehidupan yang bahagia, semua akan berubah menjadi suram dan menyeramkan.

Berbeda jika Dava menghabiskan masa hidupnya bersama orang ia cintai, Vanilla. Meski Vanilla cerewet, namun itu tidak akan menjadi masalah bagi Dava. Meskipun Vanilla memiliki banyak kekurangan, dengan senang hati Dava akan menutupi kekurangan tersebut.

Karena memikirkan Vanilla, tanpa sadar Dava senyum-senyum sendiri. Soraya pun menatap Dava heran karena sedari tadi ia sedang mengomel, namun cowok dihadapannya itu malah tersenyum.

Tiba-tiba ponsel Dava berdering, mengalihkan perhatian Soraya dan juga Dava. Dava sigap mengambil ponselnya dan langsung mengangkat telpon tersebut ketika melihat nama Vanilla tertera dilayarnya.

"Pagi sayang," sapa Dava tanpa mempedulikan Soraya yang langsung melotot tajam dengan setengah mulut terbuka. "Hari ini mau ke rumah sakit? Sekarang? Bisa dong, apa sih yang gak buat kamu. Ya sudah tunggu disitu, aku jemput sekarang."

"Bye sayang." Dava mematikan sambungan telponnya lalu meraih kunci mobilnya dan bergegas pergi.

Soraya pun dengan sigap menahan pergerakan Dava, "mau kemana kamu?" tanya Soraya. "Dav, urusan kantor lebih penting. Kamu sudah seminggu gak masuk kantor dan sekarang mau pergi lagi!?"

Dava menepis tangan Soraya hingga Soraya tersentak dan mundur selangkah. Tatapan Dava tajam menusuk, tanda bahwa ia benar-benar tidak suka dengan wanita dihadapannya sekarang. 

Dari pada Dava harus mengeluarkan tenaganya hanya untuk membentak Soraya, Dava pun memilih segera pergi. Teriakan Soraya yang berulang kali memanggil namanya pun sama sekali tidak Dava hiraukan. Dava juga mendengar langkah kaki Soraya yang mengejarnya.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now