Lima Belas

17.8K 2K 58
                                    

Semburat warna jingga di langit mengembangkan senyum Vanilla yang sedang memandang lurus kearah matahari yang perlahan kembali ke peraduannya. Sunset selalu menjadi pemandangan yang begitu menakjubkan.

Seiring hilangnya sang senja yang mulai di gantikan malam, Vanilla membalikan badan hendak pergi ketika seseorang tiba-tiba berdiri persis di hadapannya. "Dava?" ucapnya tidak percaya.

Vanilla menoleh ke sekelilingnya. Sunyi, sepi, tidak ada siapapun selain dirinya dan Dava yang masih seperti posisi semula. Dava tidak bersuara dan juga tidak bergerak. Hanya saja matanya menatap Vanilla seolah tidak berkedip. Jujur, suasana seperti ini bagi Vanilla bukanlah canggung namun malah menjadi begitu mencekam. Tiba-tiba saja Dava mengarahkan tangan yang memegang pistol ke arah Vanilla.

Vanilla terkejut, otomatis ia melangkah mundur secara perlahan, namun Dava tidak bergeming. Vanilla pun membalikan badan hendak berlari ketika suara tembakan itu terdengar. Vanilla terpaku, ia berpikir Dava menembak kearah dirinya, namun Vanilla sama sekali tidak merasa sakit. Vanilla kembali menoleh kearah Dava, dan tidak ada orang disana. Yang Vanilla lihat hanyalah bayangan seseorang yang berlari keluar dan seorang pria yang tergeletak bersimbah darah.

Vanilla membekap mulutnya, dan sadar ternyata di tangannya terdapat pistol yang tadi Dava pegang. Kakinya lemas dan meluruh kebawah sembari menangis dan gemetaran. Vanilla, baru saja membunuh seseorang, seseorang yang tidak Vanilla kenal.

Dengan cepat Vanilla membuang pistol di tangannya, berdiri, dan berlari sejauh mungkin. Vanilla berada di dalam hutan, samar-samar ia melihat lampu jalanan. Vanilla pun mempercepat larinya hingga bertemu jalan besar dan...

Brak!

Tubuhnya melayang setelah tertabrak oleh mobil yang melintas. Tubuh Vanilla terasa sakit, kepalanya seperti berputar-putar dan ia rasa ada cairan yang keluar dari belakang kepalanya. Vanilla masih sadarkan diri, hanya saja matanya mulai buram. Telinganya mendengar suara pintu mobil yang di tutup, lalu seseorang berjongkok menatapnya. Orang itu memiliki rupa yang sama dengan Vanilla, hanya saja senyum yang menghiasi wajah orang itu adalah senyum penuh kemenangan. Seolah orang itu menginginkan kematian Vanilla.

"Hello, twin..." Sapa orang itu.

"Va.. Vanessa?" lirih Vanilla tidak sanggup. Vanilla merasa dirinya di ambang kematian.

"I'm sorry i'm hurting you," ucap Vanessa mengelus wajah Vanilla yang penuh luka dan berdarah. "But you deserve it!" Lanjutnya. "You take everything I have, you kill your own best friend, and you make me almost die."

Vanilla mencoba menggerakkan tubuhnya, namun tidak bisa. Bahkan bernapas saja rasanya semakin sulit. Vanilla hanya bisa menitikan air mata dan mendengar kembarannya yang sedang berbicara.

"There is one thing I want to do now," Vanessa kembali bersuara, "I will kill you, and send you to the hell!" Vanessa mengeluarkan sebuah pisau dan langsung menusukkan tepat di perut Vanilla.

Vanilla berteriak dan tiba-tiba membuka matanya. Napasnya terengah-engah dan keringat membanjiri tubuhnya. Tangannya gemetaran, matanya melirik ke sana kemari, telinga dan pikirannya di penuh oleh suara-suara yang membuat Vanilla semakin panik. Vanilla kembali berteriak, menutup kedua mata dan telinganya sembari menangis.

"Pergi!" teriaknya persis seperti orang kesetanan. "Please.. leave me alone!"

Suara-suara itu semakin menjadi. Suara tawa, suara tangis, suara tembakan, suara decitan ban mobil, suara alat monitor pasien, suara teriakan, semua menjadi satu di kepala Vanilla. Vanilla tidak bisa membedakan mana suara yang nyata atau memang hanya ada di kepalanya.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now