Dua Puluh Lima

17.8K 2.2K 504
                                    

Vanilla terbangun dengan keringat yang membanjiri wajahnya. Lagi-lagi ia teringat dengan kecelakaan yang terjadi beberapa tahun silam. Vanilla mengusap wajahnya dengan kasar. Mimpi itu selalu saja mengganggu tidurnya yang nyenyak. Di tambah lagi ia juga bermimpi, ralat mengingat masa lalu dimana Dava hampir saja bertunangan dengan saudara kembarnya sendiri. Vanilla menghela napas, rasanya sesak, sakit, dan membuatnya ingin menghilang selama mungkin.

Matanya melirik kearah jam di atas nakas. Ternyata sudah pukul sebelas siang, dan ia menemukan sebuah memo dari Sandra. Hari ini Sandra ada pekerjaan, jadi ia memutuskan untuk tidak membangunkan Vanilla, dan juga hari ini mereka punya janji untuk bertemu dengan tunangan Sandra yang baru saja tiba dari Indonesia.

Vanilla mendengus. Ia pun memutuskan untuk mandi dan bersiap. Vanilla tidak mau kena amuk Sandra karena datang terlambat. Sudah cukup bagi Vanilla hampir setiap pagi mendapat Omelan dari temannya itu.

Satu jam kemudian, Vanilla sudah siap dengan outfitnya. Tak lupa ia mengambil syal, tas dan juga buku sketsa yang tergeletak di atas meja, lalu bergegas menuju cafe yang berada tak jauh dari apartemennya. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki, ia sudah sampai di cafe tersebut.

Vanilla memesan kopi. Sembari menunggu, ia memutuskan untuk menggambar di buku sketsanya. Entah mengapa ia sangat ingin menggambar sosok anak laki-laki yang ia temui di taman rumah sakit. Sebisa mungkin Vanilla mengingat wajahnya, agar bisa tergambar dengan sempurna.

"Long time no see, Vanilla..."

Vanilla menengadahkan kepalanya saat ia mendengar suara tak asing menyapanya. Matanya langsung melotot tidak percaya melihat sosok di hadapannya saat ini.

"Vino?" ucapnya setengah tidak percaya. "Lo... Lo kenapa bisa ada disini?" Vanilla langsung mengedarkan pandangannya, takut jika Vino datang bersama Dava dan yang lainnya. Vanilla tidak siap jika harus bertemu dengan mantan kekasihnya itu.

Vino tersenyum seraya menarik kursi di hadapan Vanilla, sementara Vanilla masih menatap Vino tidak percaya.

Tiba-tiba mata Vanilla langsung melotot sempurna, "Jangan bilang Lo tunangannya Sandra!?" dan Vino hanya membalasnya dengan gumaman.

Melihat reaksi Vanilla yang sedikit berlebihan membuat Vino tertawa. Sedari awal Vino sudah curiga, bahwa orang yang selama ini di ceritakan Sandra adalah Vanilla, dan dugaannya benar ketika ia datang dan melihat Vanilla sedang fokus menggambar.

"Bisa-bisanya cowok playboy kayak Lo jatuh hati sama cewek secerewet Sandra?" Vanilla menggelengkan kepala heran. "Dan gimana bisa Lo tahu kalau gue temanan sama tunangan Lo?"

Vino mengangkat bahunya, "cuma prasangka gue aja, dan ternyata benar. Selama ini Sandra banyak cerita tentang Lo. Awalnya gue gak berpikiran itu Lo, tapi lama kelamaan gue yakin bahwa orang yang di ceritakan Sandra itu Lo." Vino menarik napas dan menghembuskan ya, "Lo tahu seberapa paniknya semua orang waktu tahu Lo pergi tanpa kabar? Kenapa sih Lo suka banget main kabur-kaburan?"

"Gue gak kabur, Vin."

"Gak kabur, tapi lari dari kenyataan."

"Sandra mana? Kok Lo sendiri?" Vanilla mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Gue jauh-jauh datang ke sini untuk ketemu Lo!" ucap Vino membuat Vanilla terdiam. "Nil, Lo bukan anak SMA lagi, Lo udah dewasa. Kecelakaan itu udah terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu, harusnya Lo bisa lupain kenangan buruk itu. Lo mulai kehidupan Lo dari awal, tanpa ada rasa takut, menyesal, dan bayang-bayang masa lalu. Lagian Lo sendiri yang bilang, lebih baik hidup dengan kenangan buruk dibanding hidup tanpa kenangan sama sekali."

Vanilla menghela napas, "semua yang terjadi di hidup gue terlalu berat, Vin. Persis kayak sinetron yang gue gak tahu endingnya gimana."

"It's not about happy ending, Vanilla. It's about story', story' of your life."

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now