Dua Puluh Delapan

16.9K 2.5K 623
                                    

Vino mengehentikan laju larinya ketika ia melihat Vanilla yang berjongkok persis di pinggir kolam renang yang berada tepat di belakang ballroom. Matanya melihat bahu Vanilla yang naik turun, menandakan bahwa wanita itu sedang menangis, meski Vino tidak mendengar isakannya sedikitpun.

Perlahan Vino melangkah mendekati Vanilla, "gue minta maaf karena udah bohong ke lo," ujarnya membuat Vanilla terkejut dan mengangkat kepalanya.

Vanilla berdiri lalu membalikkan badan dan melihat Vino yang berada tepat di hadapannya dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku celana.

"Undangan yang gue kasih ke lo itu, palsu." Vino mengakui perbuatannya karena merasa tidak enak hati telah membohongi Vanilla. "Gue ngelakuin itu supaya Lo bisa terima kenyataan dan kembali untuk memulai hidup Lo yang baru."

Vanilla jelas terkejut mendengar pengakuan Vino. Beberapa menit yang lalu ia mengalami kejadian serupa, kejadian yang mengatakan bahwa undangan dari Vino hanyalah kebohongan semata. Apa ini nyata atau hanya halusinasinya, jujur Vanilla tidak tahu mana bagian yang nyata dan yang tidak.

Raquella yang menegurnya, Leon yang memeluknya, Vanessa yang meminta maaf padanya, Dava yang menyatakan perasaannya, Vino yang mengakui kebohongannya, apa semua yang terjadi beberapa saat lalu adalah hal nyata?

"Semua yang gue alami sekarang, nyata?" tanya Vanilla.

Vino mengerutkan alisnya karena bingung dengan pertanyaan Vanilla. "Semua yang baru saja terjadi, nyata kan?" Vanilla mengulang pertanyaannya sembari berharap bahwa semua kejadian ini nyata.

"Raquella dan Leon yang rindu sama gue, Vanessa yang minta maaf ke gue, Dava yang melamar gue, dan Lo yang mengatakan bahwa undangan itu--"

"Raquell baru aja datang lima menit yang lalu, Vanessa selalu ada di atas pelaminan, dan Dava.. Dava gak tahu kalau Lo ada disini."

Lagi lagi Vanilla terkejut dan hatinya melongos mendengar pernyataan Vino. Semua kebahagiaan singkat itu, hanya halusinasinya semata.

"Lo..." Vino menggantungkan kalimatnya, "sejak setengah jam yang lalu hanya berdiri menatap kearah ballroom tanpa berniat untuk masuk ke sana." Benar, Vanilla tidak bisa membedakan hal yang nyata dan tidak.

Vanilla menggelengkan kepala tidak percaya. Vanilla yakin, Vino membohonginya dan apa yang tadi terjadi adalah hal yang nyata.

"Maaf karena gue harus menghancurkan imajinasi lo yang indah itu."

Vanilla langsung menggelengkan kepalanya. Dalam hati ia berteriak menyemangati diri sendiri, ia tidak boleh tampak menyedihkan di hadapan Vino. Toh Vanilla sudah memutuskan untuk kembali, itu tandanya Vanilla harus siap menghadapi apa saja yang terjadi. Lagi pula undangan itu palsu, berarti Vanilla masih memiliki kesempatan agar bisa kembali bersatu dengan Dava. Untuk kesekian kalinya Vanilla menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya.

"Mau masuk?" tanya Vino di balas senyum tipis dan anggukan kepala. Vino langsung memberikan pelukan hangat pada Vanilla seraya berbisik, "welcome home, Vanilla..." bisiknya mengusap punggung Vanilla.

Beberapa detik kemudian, pelukan mereka terurai. Vino langsung meletakan tangannya ke pinggang dan Vanilla langsung menggandengnya. Vanilla tertawa melihat Vino, namun setidaknya Vino telah membangunkan Vanilla dari mimpinya yang begitu indah.

Sesampainya di depan ballroom, Vanilla melepaskan gandengannya, sementara Vino mengedipkan sebelah matanya dan terlebih dahulu masuk.

Tangan Vanilla dingin dan bergetar. Ia benar-benar nervous. "Oke Vanilla, Lo pasti bisa! Lo harus bisa kontrol diri Lo sendiri!" Vanilla kembali menghela napas dan menetapkan pilihannya untuk masuk ke dalam ballroom tersebut.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now