Sembilan

18.5K 2.1K 220
                                    

"Tadi gue sama Dava ke bandara, dan ketemu sama Vanilla." Elang membuka percakapan, memecah keheningan yang sedari tadi tercipta di ruang kerja Dava.

Vino langsung menyembur kopinya yang baru saja masuk ke dalam mulut dan hendak ia telan, sementara Reza menghentikan aktifitas yang sedang berbicara dengan rekan kerjanya melalui sambungan telepon, serta Dava tanpa rasa bersalah tetap fokus pada laptop di hadapannya.  Dava tidak memperdulikan Elang yang sedari tadi sejak kembali dari bandara selalu memaki Dava dengan beribu kata-kata mutiara.

"Vanilla?" ucap Vino dengan tampang tidak percaya.

"Serius kalian ketemu sama Vanilla?" timpal Reza sama tidak percayanya seperti Vino.

Elang menganggukkan kepalanya, "jadi pas gue baru sampai kantor, di meja gue ada amplop yang isinya foto-foto Vanilla lagi di bandara. Waktu gue ke sana bareng Dava, ternyata bener, Vanilla cuy!"

Dava berdeham, menginterupsi ketiga temannya yang langsung menoleh dengan tatapan penuh pertanyaan. Dava dengan tampang santainya berjalan menuju sofa dan duduk di hadapan Vino dan Reza.

"Kayak ngeliat hantu aja kalian," ucapnya sembari menyesap kopi yang sudah mulai dingin sejak di suguhkan oleh sekertaris Dava. "Lagian ngapain sih seheboh itu?"

"Dav..." Elang berbicara dengan mata mimicing, "lo serius sama ucapan lo tadi? Gak takut nyesel kayak dulu?"

Dava tertawa, "dulu gue hidup penuh penyesalan, kalian minta gue untuk lupain penyesalan itu. Sekarang giliran gue udah ambil keputusan sendiri, kalian malah bilangin gue gak takut nyesal? Jadi sebenarnya yang plin plan ini siapa, gue atau kalian?"

"Tapi situasinya beda, Dav!"

"Lo tahu rasanya nunggu itu gimana? Capek, Lang. Dari yang awalnya gue gak punya harapan, sampai akhirnya punya dan harus sakit karena harapan itu sendiri. Perasaan itu gak bisa di atur, bisa berubah dengan sendirinya. Gue gak bisa atur perasaan gue untuk Vanilla, bahkan gue gak tahu gimana perasaan gue ke dia, sekarang."

"Tunggu, tunggu," Reza menginterupsi, "kalian ngomongin apa sih? Gue sama Vino gak ngerti kronologis kejadiannya gimana."

"Dav, gue lebih tahu gimana rasanya nunggu! Sekarang gini, buat apa dia kembali kalau memang dia lupa sama lo? Lagian waktu di rumah sakit kemarin, gue ketemu sama Vanilla." Sahut Elang tanpa memperdulikan Reza yang mencoba untuk mengerti pembahasan Elang dan Dava.

"Orang yang lo tabrak di koridor rumah sakit?" tanya Vino pada Elang.

Elang menganggukan kepalanya, "awalnya gue gak yakin kalau itu Vanilla, tapi setelah ketemu di bandara kemarin, gue yakin, orang yang gak sengaja gue tabrak di koridor rumah sakit itu Vanilla. Gue juga sempat balikin gelang dia yang jatuh. Gelang yang mirip sama punya Dava."

"C'mon guys..." erang Dava, "gue kan udah berpisah secara baik-baik. Jadi setidaknya gak ada rasa bersalah bagi gue ataupun bagi dia. Udahlah, kalian sendiri yang bilang life must go on, tapi kok kalian malah membuat gue terus-terusan terjebak sama masa lalu gue sendiri."

Elang membulatkan mata dan menggeram, memilih untuk keluar dari dalam ruangan Dava sembari berteriak seperti orang kesetanan. Sementara Vino menggeleng, Reza memasang tampang tidak tahu apa-apa dan Dava sibuk menyesap kopinya yang tersisa setengah.

Tampang Dava memang terlihat biasa saja, namun pikiran dan batinnya sedang berdebat saat ini. Dava sendiri tidak tahu apakah keputusannya yang tadi tepat atau ia bisa saja kembali menyesal seperti perkataan Elang. Namun ketika ia bertemu dengan Vanilla tadi, sebagian dirinya merasa senang dan sebagian lagi kecewa.

Karena canggung, akhirnya Reza berdiri sembari melirik jam tangannya, "keluar yuk, sekalian makan malam di restoran biasa," ujarnya mengajak Dava dan Vino.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now