Lima Puluh Tiga

8K 1K 64
                                    

"Pa... Papa!"

Teriakan Dava menggelegar hingga terdengar ke seluruh sudut rumah. Dengan langkah tergesa-gesa, ia mencari keberadaan Ayahnya yang entah sedang berada di mana.

"Rian, ada apa? Kenapa teriak-teriak?" tanya Ibunya yang masih menggunakan apron dan muncul dari arah dapur.

"Papa mana?"

"Ada diruang kerja."

Dava tidak lagi menjawab dan langsung bergegas menuju ruangan kerja ayahnya di lantai dua. Ada sesuatu yang ingin Dava perlihatkan pada Ayahnya. Sesuatu penting menyangkut masa depan Dava.

"Pa..."

"Biasakan kalau masuk ketuk pintu dulu."

Dava menghela napas dan meminta maaf karena lancang masuk ke ruang kerja Ayahnya tanpa mengucapkan permisi atau mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Ternyata kamu masih ingat rumah," sindir Ayahnya yang sedang sibuk dengan kertas-kertas di atas meja.

"Pa, Rian mau ngomong penting sama Papa."

"Tentang perjodohan kamu dan Soraya?" tebak Ayahnya seratus persen benar.

Dava mengeluarkan ponselnya, lalu memutarkan sebuah video yang baru Dava terima beberapa saat yang lalu. Dengan tatapan heran, Ayah Dava menerima ponsel yang disodorkan oleh Dava dan melihat video apa yang di tunjukkan Dava.

"Papa yakin pandangan Papa terhadap Soraya masih sama?" ujar Dava setelah video tersebut selesai diputar.

Ayah Dava menatap Dava dengan tatapan yang tidak bisa di artikan, lalu menghela napas sembari melepas kacamata yang di pakainya. "Rian, kamu tau alasan Papa menjodohkan kalian kan? Kamu juga tau kan hubungan Papa dengan keluarga Bharmantyo tidak lagi akur sejak kejadian bertahun-tahun yang lalu."

"Pa... tapi ini demi masa depan Rian dan masa depan perusahaan juga, Pa. Papa mau punya menantu kasar yang gak bisa menghargai orang lain dan ringan tangan? Reputasi keluarga kita bisa hancur, Pa."

"Apa bedanya dengan pacar kamu?"

"Maksud Papa?" tanya Dava tidak mengerti.

"Pacar kamu punya penyakit mental yang sewaktu-waktu bisa kambuh dan menyakiti orang-orang secara tidak sadar."

"Pa!" teriak Dava murka karena merasa bahwa Ayahnya menjelekkan Vanilla. "Vanilla sudah sembuh, dan dia normal!" tegas Dava.

Untuk kedua kalinya Ayah Dava menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. "Soraya tetap pilihan yang lebih baik," ujar Ayah Dava final, menandakan bahwa tidak ada lagi yang perlu di bahas.

Rasanya Dava ingin mengamuk karena Ayahnya tidak pernah memberikan pilihan untuk Dava menjalani kehidupannya sendiri. Dava sudah merelakan impiannya untuk bekerja di lapangan, hanya demi melanjutkan bisnis keluarga yang sudah di bangun susah payah. Sekarang Dava tidak ingin merelakan masa depannya hanya untuk menikahi seorang wanita atas dasar bisnis.

"Papa gak punya pilihan lain," kata Ayah Dava setelah hening beberapa saat. "Kalau perjodohan ini batal, keluarga kita akan bangkrut. Papa mau yang terbaik untuk anak-anak Papa."

"Tapi ini bukan yang terbaik untuk Rian, Pa."

"Rian, Papa tau kamu mencintai Vanilla sejak bertahun-tahun lalu. Tapi Papa mau sekarang kamu berpikir realistis. Apa mungkin Vanilla sama seperti Vanilla di masa lalu kamu? Setelah semua yang Vanilla lalui, semua yang Vanilla alami, pasti akan terasa berbeda."

"Kalau memang Papa terpaksa menjodohkan Rian hanya karena perusahaan, Rian bisa buktikan kalau perusahaan kita bisa stabil tanpa harus menyatukan keluarga kita dengan keluarga Soraya."

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now