Tiga Puluh Lima

15.2K 1.8K 216
                                    

Dava baru saja bermimpi ia sedang berada di altar sembari memegang tangan Vanilla dan di saksikan oleh banyak orang. Sayangnya mimpi tersebut harus menghilang karena getaran ponsel yang membuatnya terkejut dan otomatis jatuh dari sofa tempat Dava tidur. Dava mengutuk siapapun yang menganggu mimpi indahnya.

Ketika Dava membuka sebelah matanya, ia melihat dengan samar nama Elang terpampang di layar. Dengan emosi yang memuncak, Dava langsung mengangkat telpon tersebut dan bersiap memberikan siraman rohani kepada sahabatnya.

"Lo bisa gak sih lain kali...."

"Gue udah kirim beberapa desain yang lo minta ke email," potong Elang padahal Dava belum menyelesaikan kalimatnya.

Otomatis Dava langsung melek dan berpikir mengenai desain yang di maksud Elang.

"Kalau Lo cocok sama salah satu desain itu, gue bisa langsung kontak temen gue supaya proyeknya bisa berjalan dan selesai tepat di tanggal yang Lo minta."

"Selamat Lo dari gue!" ketus Dava masih kesal karena Elang mengganggu tidurnya.

"Jangan lupa, fulus gue! Rela nih gue begadang demi lo!"

"Gue kasih Lo duit, tapi gak gue kasih restu. Pilih mana?"

Elang mendengus, "kalau bisa memilih keduanya, kenapa harus memilih salah satu? Gak semua hal bisa di jadikan pilihan, apalagi restu. Restu itu harus dari hati yang terdalam, Dava."

"Dan hati gue berkata, gue gak akan merestui hubungan Lo sama adik gue!"

"Eh.. eh jangan gitu dong." Elang mulai panik karena nada bicara Dava yang terlalu serius. "Gue udah setia lebih dari sepuluh tahun, masa gak Lo kasih restu?"

"Siapa?" tegur Vanilla tiba-tiba membuat pandangan Dava teralihkan.

Dava menunjukan layar telponnya dan berkata, "Elang." Vanilla pun membulatkan mulutnya seraya berlalu menuju dapur.

"Yaudah ntar gue kabarin lagi, gue sibuk!" Dava langsung mematikan sambungan telponnya secara sepihak dan melempar ponselnya keatas sofa, lalu ia berjalan ke aja meja bar dan memperhatikan Vanilla yang sedang mencuci piring.

Hampir seminggu tinggal bersama, Dava jadi sering membayangkan, bagaimana jika ia menghabiskan waktu seumur hidup bersama Vanilla. Memang, Vanilla bukan wanita pertama yang pernah ada di hidup Dava, tapi hati kecil Dava sangat berharap bahwa Vanilla akan menjadi wanita terakhir yang akan menemaninya hingga kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa.

Namun lagi-lagi, terkadang hati dan pikirannya tidak sejalan. Dava belum bisa memberi kepastian kepada Vanilla. Dava takut, jika ia hanya akan memberikan luka pada wanita itu. Dava mencintai Vanilla, tapi dari semua hal yang sudah mereka lalui, masih ada satu garis pemisah yang belum bisa membuat mereka bersatu, yaitu sikap Dava yang belum bijak dalam mengambil keputusan.

"Tumben Elang nelpon." Pertanyaan Vanilla berhasil mengalihkan pikiran Dava. Segera Dava menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.

"Gue lagi ada proyek sama dia," jawab Dava.

"Proyek apaan?"

"Biasalah urusan kantor. Dia kan mitra bisnis gue."

Vanilla manggut-manggut, "btw dia dimana sih? Kok gue gak pernah liat sejak hari pernikahan Vanessa."

"Besoknya Elang langsung berangkat ke Aussie. Dia kuliah disana. Paling bulan depan balik pas Vino nikah."

"Dia masih ngejar-ngejar Poppy?" tanya Vanilla lagi karena merasa tertarik dengan sahabat Dava itu.

Dava menganggukkan kepala, "lebih tepatnya dia lagi berusaha dapat restu dari gue."

"Wow," ujar Vanilla takjub. "Orangtua Lo setuju kan Elang sama Poppy?"

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now