Enam Puluh Tiga

4K 501 16
                                    

Dava melajukan mobilnya menuju kediaman Vanilla. Setelah mendengar ucapan karyawan Vanilla di butik tadi, Dava jadi tak bsisa menahan keinginannya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Vanilla. Ketika ia hendak membelokkan mobilnya memasuki area perumahan, ia tak sengaja melihat mobil Jason yang melewatinya. Tanpa pikir panjang, Dava memutar arah dan mengikuti mobil Jason dari belakang.

Sekitar lima belas menit kemudian, mobil Jason berhenti tepat di sebuah gapura pemakaman. Menunggu agak lama, Dava melihat Jason yang keluar bersama keluarganya yang lain dan berjalanan memasuki area pemakaman. Dava pun ikut keluar, ia menjaga jarak agar tidak ketahuan.

Jauh di depan sana, ada banyak orang yang berkumpul dengan menggunakan pakaian serba hitam. Karena ia berdiri agak jauh, Dava jadi tidak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi disana. Saat sedang asik mengamati kumpulan tersebut, perhatiannya teralihkan pada sosok Vanilla yang berdiri jauh di belakang. Vanilla terlihat menunduk, seperti sedang menangis. Rasa penasaran Dava semakin memuncak, ia penasaran siapa yang di makamkan disana.

"Penasaran, huh?" kalimat sarkastik itu mengejutkan Dava.

Dava menoleh mendapati kakak tertua Vanilla sedang berdiri disebelahnya dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku celana. "Gue dengar semua yang terjadi antara lo dan Vanilla," ucapnya kembali berbicara.

"Menurut lo, siapa yang sedang mereka tangisi?" tanya Zero menoleh kearah Dava.

Dava menggeleng pelan karena ia tidak bisa menjawab.

Dava menatap Zero dengan tatapan bertanya. Seolah mengerti dengan maksud tatapan Dava, Zero menghela napas. "Gue gak tahu apa yang Vanilla sembunyikan, dan kenapa Vanilla bisa merasa bersalah atas kecelakaan itu. Sebelum pelaku itu di tangkap, kita gak akan tahu kebenarannya gimana."

Zero kembali menarik napas dan menghembuskannya perlahan. "Vanilla butuh lo, Dav," Zero menepuk bahu Dava dan berlalu meninggalkan Dava yang hanya bisa terdiam.

Matanya memandangi Zero yang berjalan mendekati Vanilla. Zero memeluk Vanilla, membuat Vanilla menumpahkan airmatanya di dalam pelukan Zero. Dava tahu, Vanilla pandai menyembunyikan perasaannya. Apa mungkin semua ini ada sangkut pautnya dengan apa yang terjadi di ruang kerja Soraya?

***

Vanilla menatap foto di dalam kamarnya. Ia baru saja kembali dari pemakaman bersama keluarganya yang lain. Setiap melihat Vanessa, rasa bersalah yang ia rasakan semakin membesar. Semua itu membuat Vanilla kembali berpikir, apa seharusnya ia pergi mengasingkan diri dan tidak pernah kembali lagi? Toh, semakin lama Vanilla berada disini, semakin banyak pula kejadian tidak mengenakkan yang terjadi.

Tangannya kembali mengusap setetes air mata yang terjatuh. Mimpinya selama ini benar, kebahagian Vanessa hilang karena dirinya. Disaat Vanessa menyayanginya, ia malah membuat Vanessa menderita. Vanilla menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan oksigen yang ia hirup. Ia tidak tahu harus melakukan apa dan harus bagaimana.

Di nyalakan ponsel yang selama ini ia matikan. Ketika nyala, ia mendapat banyak pesan dari Dava. Vanilla tersenyum sebentar saat membaca pesan-pesan tersebut. Entah mengapa Vanilla masih merasa kecewa atas perlakuan Dava yang seolah tidak percaya padanya. Meski Dava sudah menjelaskan melalui pesan singkat bahwa dirinya tidak bermaksud untuk membentak Vanilla.

I miss you :)

Vanilla ingin menjawab pesan tersebut, namun ia urungkan. Ia memegangi kalung pemberian Dava dan memutuskan untuk menyimpan kalung tersebut di dalam kotak perhiasannya.

Tok.. tok..

Pandangan Vanilla terarah ke pintu. Rey nongol dari baliknya, "Ada yang cari kamu di bawah," ucap Rey memberitahu. Vanilla ingin bertanya siapa yang mencarinya, namun Rey keburu menutup kembali pintu kamar Vanilla.

Vanilla mendesah pelan. Ia memutuskan keluar dan menghampiri orang yang mencarinya. Ia sama sekali tidak berpikir bahwa orang yang mencarinya adalah Dava.

"Hey..." sapa Dava membuat Vanilla menegang. Vanilla tidak menjawab, ia malah memandangi halaman depan mansion Gustavo yang terlihat sangat luas. "Gue kesini mau—"

"Gak perlu minta maaf," potong Vanilla. "Apa yang mereka katakan itu memang benar. Gue bukan yang terbaik untuk lo dan gue gak bisa buat lo bahagia, Dav."

Dava langsung berdiri di depan Vanilla dan menatapnya dalam. "Lo satu-satunya kebahagian gue, dan gue gak mau kehilangan lo," ujarnya terdengar serius.

"Untuk apa berharap kalau lo sendiri gak percaya?" kalimat itu adalah kalimat yang pernah Dava lontarkan untuk Vanilla. "Jujur, Dav, lo juga ragukan sama keputusan lo sendiri?"

Dava menggeleng keras. "Nil, gue bukan Dava yang dulu. Gue udah capek sama sifat gue yang sulit mengambil keputusan. Kali gue serius, gue cuma mau lo. Bukan Soraya, atau yang lainnya."

Kedengarannya sangat meyakinkan, tapi entah mengapa logika Vanilla mengatakan bahwa Vanilla tidak boleh luluh hanya dengan mendengar kalimat manis dari mulut Dava. "Gue juga capek, Dav," ucapnya menatap Dava dengan mata yang berkaca-kaca. "Gue cuma pengen normal, dan bahagia. Itu doang."

"Tapi semakin keras gue mencoba untuk senormal kalian, semakin banyak hal yang mengusik kehidupan gue. Seolah Tuhan gak akan membiarkan gue bahagia meski hanya sekali." Vanilla tertawa pelan sembari mengusap airmatanya. "Seharusnya gue memang gak kembali."

Dava menggenggam tangan Vanilla. "Gue tahu apa yang gue lakuin salah, dan gue minta maaf. Bukannya gue gak percaya sama lo, Cuma— keadaan gak berpihak di kita, Vanilla."

Vanilla menarik tangannya dari genggaman Dava. "Sori, Dav, gue butuh waktu untuk sendiri," ucapnya membalikkan badan hendak meninggalkan Dava.

"Kenapa lo gak bilang ke gue kalau selama ini ada orang yang berusaha untuk mencelakai lo?" pertanyaan itu sukses menghentikan langkah kaki Vanilla.

Vanilla menarik napas dalam-dalam. "Gue gak mau ada yang terluka karena gue," jawabnya pelan namun masih bisa di dengar oleh Dava. "Seperti apa yang terjadi pada Vanessa," lanjutnya melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan panggilan Dava.

Vanilla menutup pintu rapat-rapat dan bersandar di baliknya. Ia berulang kali menghela napas, mencoba menghilangkan sesak di dadanya. Vanilla tidak marah pada Dava, ia marah pada dirinya sendiri, dan mungkin ini memang yang terbaik untuk mereka berdua.

***

Minggu, 07 Maret 2021

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now