Enam Puluh Empat

4.7K 527 25
                                    

Sedari tadi Dava sama sekali tidak mendengar ocehan Elang yang bercerita panjang lebar tentang hubungannya dengan adik Dava. Dava malah sibuk memperhatikan sebuah cincin di dalam kotak berwarna merah yang sebenarnya ingin Dava berikan pada Vanilla ketika di Bali kemarin. Namun gagal karena Vanilla ditemukan pingsan di dalam toilet.

Dava menghela napas. Ia memasukkan kembali kotak tersebut ke dalam saku jaketnya dan mulai menyentuh makanannya yang sudah dingin. Meski tahu Dava tidak mendengarkannya, Elang tetap saja mengoceh.

"Hai, sayang..."

Kalimat sapaan itu membuat Dava langsung kehilangan selera makannya, sedangkan Elang tidak jadi memasukkan suapan terakhir dari makanannya. Soraya menarik kursi di sebelah Dava dan tersenyum manis pada Dava yang menahan keinginannya untuk memaki-maki Soraya.

"Udah selesai makan? Kita cari cincin nikah yuk!"

Uhuk!

Elang langsung menyemburkan minumannya dan terbatuk-batuk setelah mendengar ucapan Soraya. "Apa, cincin nikah?" ujarnya bertanya untuk meyakinkan bahwa ia salah dengan. Elang menatap Dava yang hanya bisa menghela napas. "Becanda kan lo?" ucap Elang lagi.

Soraya tersenyum penuh arti pada Elang. "Mungkin lo belum tahu. Dua minggu lagi gue bakal nikah sama Dava," ucapnya pamer.

Untuk kedua kalinya Elang menyemburkan minumannya dan terbatuk-batuk. "Dav, barusan aja lo—" kalimat Elang terpotong karena Dava yang menendang tulang kering. Elang kembali menatap Dava dan berinteraksi melalui telepati.

"Duh! Lama deh. Ayo buruan!" Soraya menarik Dava paksa, hingga Dava mau tak mau berdiri dan mengikuti langkah kaki Soraya yang menyeretnya. Elang langsung menyusul. Karena tadi ia pergi bersama Dava, maka ia juga harus pulang bersama Dava. Lagi pula Elang masih tidak mengerti dengan apa yang barusan terjadi.

Dava sendiri tidak tahu bahagimana bisa Soraya menemukannya. Padahal ia sengaja tak membawa ponsel agar tidak di teror oleh wanita itu. Tetap saja Soraya tahu keberadaan Dava. Apa mungkin Soraya mengikuti Dava sejak keluar dari rumah?

Soraya mengajak Dava masuk ke salah satu toko perhiasan terkenal di mall yang mereka kunjungi. Seperti biasa, Soraya langsung memberitahu apa yang ia cari pada staf toko tersebut. Staf tersebut memperlihatkan beberapa model cincin ke hadapan Soraya. Ia pun langsung mencoba satu persatu dan menilai mana yang menurutnya bagus untuk dijadikan cincin nikah.

"Mbak, saya mau ambil pesanan saya yang kemarin." Suara itu tidak asing di telinga Dava. Ia menoleh ke kanan dan melihat Vanilla berdiri sekitar dua meter dari tempatnya berdiri.

"Vanilla?" tegur Elang membuat Vanilla menoleh ke belakang dan tersenyum ketika tahu yang menyapanya adalah Elang. "Hey..." Vanilla menyapa balik.

"Sendirian?" tanya Vanilla.

"Engg—"

"Sayang, menurut kamu bagus yang mana?"

Vanilla memutar arah pandangannya dan menemukan Dava yang berdiri persis disamping Soraya yang sedang mencoba cinci di jari tangannya. Raut wajah Vanilla langsung berubah pias. Ia menarik napas dalam dan memutuskan untuk berpura-pura tidak melihat ada Dava dan Soraya disana. Dalam hati Vanilla memohon agar staf yang melayaninya segera kembali agar ia bisa cepat-cepat pergi.

"Yang ini bagus, tapi aku kurang suka modelnya." Soraya sengaja menyaringkan suaranya agar bisa di dengar Vanilla. "Pokoknya aku mau yang paling bagus. Pernikahan kita harus terlihat sempurna."

Berulang kali Vanilla mendengus, hingga akhirnya staf itu datang dengan membawa barang yang sudah di pesan oleh Vanilla. Vanilla mengembang senyum dan mengucapkan terima kasih pada staf yang sudah melayani. "Lang, gue duluan ya," ucapnya pada Elang yang hanya di balas anggukan. Vanilla berlalu keluar dari toko tersebut tanpa menoleh sekali pun pada Dava yang tak melepaskan pandangannya hingga punggung Vanilla menghilang.

Melihat Dava yang terus memperhatikan Vanilla membuat Soraya mengepal kuat tangannya hingga terasa kaku. Ia menggeretakkan gigi dan bersumpah dalam hati. Ia akan membuat Vanilla benar-benar pergi dari kehidupan Dava.

***

Diam-diam, Soraya mengikuti Vanilla dari jauh. Ia pamit pada Dava dengan alasan hendak mengambil barang belanjaannya yang tertingga. Padahal ia ingin mencari momen yang pas untuk melabrak Vanilla.

Ketika melihat Vanilla masuk ke dalam toilet, Soraya mengembangkan senyumnya. Ia mempercepat langkahnya dan ikut masuk ke dalam toilet. Ia memperhatikan situasi di sekitarnya, kebetulan toilet sedang sepi. Biliknya pun hanya terisi satu orang, yaitu Vanilla. Segera ia mengganjal pintu tersebut agar tidak ada yang masuk dan menunggu Vanilla keluar.

Beberapa menit kemudian, Vanilla keluar dengan tatapan terkejut karena melihat Soraya yang menunggunya sembari bersandar di westafel. "Hai..." sapa Soraya dengan senyum liciknya. Vanilla tidak menjawab, dan mengabaikan Soraya. Ia melangkah ke westafel di sebelah Soraya dan mulai mencuci tangannya.

"Ternyata lo belum kapok sama kejadian kemarin," ucap Soraya.

Vanilla hendak berlalu ketika Soraya menarik tangan Vanilla dan menyudutkannya. "Mau pergi kemana lo?" tanya Soraya mengikis jarak antara dirinya dan Vanilla.

"Gue rasa gue gak punya urusan apa-apa lagi sama lo. Lo juga udah dapat apa yang lo mau kan? So, get away from my way." Vanilla kembali melangkah, namun Soraya malah mendorong Vanilla hingga punggungnya menabrak dinding.

"Gak segampang itu Vanilla," ucapnya setengah berbisik. Soraya kembali melempar senyum liciknya pada Vanilla yang terlihat mulai pucat. Lebih tepatnya sedang mencoba agar tidak terpancing dengan omongan Soraya.

"Gimana keadaan kembaran lo?" tanya Soraya, "persis kayak lo dulu?"

Vanilla membulatkan matanya tak percaya. "Lo—"

"Ah, sorry, salah target. Seharusnya lo yang ada di mobil itu, bukan kembaran lo." Mendengar kalimat tersebut, membuat tatapan Vanilla tajam kearah Soraya. Tangan yang ia kepal mulai gemetar, bahkan ia mengigit bibirnya sendiri dengan dada yang mulai bergemuruh.

"Itu akibat karena lo berani main-main sama gue, Vanilla."

Yang awalnya terkejut, Vanilla kini tertawa terbahak-bahak. Otomatis membuat Soraya kebingung dengan reaksi Vanilla yang di luar dugaannya. Vanilla terus tertawa hingga seolah kalimat Soraya adalah hal terlucu yang pernah Vanilla dengar.

"Berarti dugaan gue benar kan?" tanya nya setelah berhenti tertawa. Vanilla bertepuk tangan meriah. "Terima kasih karena sudah menunjukkan wajah asli lo yang sebenarnya."

Soraya memicing tajam. Ia tidak tahu apa maksud perkataan Vanilla.

"Let me tell you something," Vanilla mengikis jaraknya dengan Soraya dan memposisikan kepalanya disebelah telinga Soraya. "Tu vas le regretter (kamu akan menyesalinya)." Vanilla mengembangkan senyum di salah satu sudut bibirnya sebelum ia benar-benar pergi dari hadapan Soraya.

Tepat setelah ia keluar, Vanilla langsung mengambil ponselnya dan mengecek apakah percakapannya dengan Soraya tadi terekam atau tidak. Tangannya bergetar, ia sampai tidak memperhatikan langkahnya dan beberapa kali menabrak orang yang melewatinya. Setelah memastikan bahwa percakapan itu terekam, Vanilla langsung mengirimkannya pada Jason. Untungnya tadi ia sadar bahwa Soraya mengikutinya dari belakang, jadi ketika ia masuk ke dalam bilik toilet, ia menyalakan perekam suara di ponselnya sebelum ia keluar. Apa yang dikatakan Soraya bisa menjadi bukti kuat atas kasus kecelakaan yang menimpa Vanessa. Ia hanya mau keadilan untuk saudara kembarnya.

***

Minggu, 07 Maret 2021

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now