7. Kisah Pertumpahan Darah

3.3K 732 87
                                    

Kedua tanganku bergetar hebat saat menimba air di sumur untuk mandi. Berat sekali sampai-sampai aku merasa tanganku akan copot! Tadinya aku ingin meminta bantuan Kangmas Panji untuk menimba air, tetapi kangmas bilang ia diajak oleh Ranggawuni pergi ke sungai untuk berburu ikan. 

"Dua ember lagi, ayo Rajni kamu pasti bisa!" ucapku menyemangati diri sendiri. Suara kicauan burung pagi ini seolah ikut memberikanku semangat untuk terus menimba air. 

Derap langkah dari arah belakang rumah Panji Patipati terdengar oleh telingaku. Mahesa Cempaka dengan wajah khas baru bangun tidurnya pun menyapa. Ia sempat menggaruk-garuk lehernya sebelum akhirnya bertanya, "Rajni? Kamu menimba air ini sendirian?"

Aku menjawab pertanyaannya dengan napas tersengal-sengal, "Iya, habisnya Kangmas Panji sedang pergi ke luar bersama sepupumu."

"Ah, seharusnya aku bangun lebih awal hari ini. Maafkan aku, Rajni. Biar aku saja yang menimbanya." Mahesa Cempaka mengambil alih posisiku dan menggantikanku menimba air sumur. Padahal ia baru bangun tidur, tetapi bagaimana bisa tenaganya untuk menimba sudah terkumpul?

Tak butuh waktu lama untuk Mahesa Cempaka menimbanya, mungkin karena ia sudah terbiasa makanya waktu yang ia butuhkan jauh lebih singkat daripada aku. 

"Terima kasih, ya. Kalau tidak ada kamu pasti aku baru akan mandi nanti siang karena terlalu lama menimba air," kekehku sembari tersenyum tipis.

"Lain kali kalau kau ingin mandi, kau bisa pergi ke sungai yang terletak di sisi barat, Rajni. Di sana para perempuan biasa mandi bersama di pagi hari setelah menumbuk padi," jawabnya, "mau kuajak untuk melihat sungainya?"

"Sekarang?"

"Setelah kamu mandi dan sarapan, Rajni."

Tawaran Mahesa Cempaka sepertinya adalah hal yang bagus. Aku belum sempat mengeksplorasi wilayah ini lebih jauh, tidak seperti kangmas yang sudah diajak menjadi bolang oleh Ranggawuni sejak beberapa hari yang lalu.

Sesuai dengan tawarannya, selesai mandi kami pun pergi menuju sungai yang dimaksud oleh Mahesa Cempaka. Kakiku yang tak beralas mengenai tanah, membuatku mendesis pelan karena beberapa kali batu-batu kecil tidak sengaja terinjak.

Sungai yang dimaksud oleh Mahesa Cempaka sudah terlihat, aliran sungai ini adalah sungai yang sama dengan sungai yang menjadi tempat kami pertama kali bertemu dahulu, hanya lokasinya saja yang berbeda. 

"Matahari sudah bersinar terang, sebab itu para perempuan telah meninggalkan tempat ini," paparnya tanpa aku minta. Sebuah pohon trembesi berukuran sedang tumbuh kokoh tidak jauh dari sini. Mahesa Cempaka mengajakku untuk duduk di bawahnya karena panasnya matahari perlahan dapat membakar kulit kami.

Di bawah pohon yang rindang ini aku bersandar, menikmati sejenak pemandangan sungai dan hamparan perumahan beratap alang-alang yang luas di hadapanku.

Tidak ada obrolan di antara aku dan Mahesa Cempaka. Kami sama-sama diam dan larut ke dalam pikiran masing-masing hingga tanda tanya muncul di kepalaku.

"Mahesa Cempaka, kalau kau tidak keberatan maukah kau menceritakan kepadaku tentang keris yang diminta oleh Ranggawuni kemarin?"

Laki-laki itu tak langsung menjawab, ia terdiam sesaat dan mengehela napasnya berat. Raut wajahnya berubah menjadi serius, ada luka tersirat yang ia tunjukkan kepadaku. "Baiklah. Hmm, dari mana aku memulainya, ya?"

"Ceritakan dari awal saja kalau kau mau," balasku yang disetujuinya.

Sebelum mulai bercerita, Mahesa Cempaka mengubah posisi duduknya. Ia memejamkan mata sejenak, lalu memulai ceritanya. "Dahulu Tumapel dipimpin oleh seorang akuwu bernama Tunggul Ametung, ia adalah kakek dari Ranggawuni. Singkat cerita Kakek Ametung menikah dengan Ken Dedes yang merupakan nenekku. Nenek adalah putri kesayangan dari buyutku, yaitu Puyut Purwa. Pernikahan mereka tidak direstui karena saat itu Puyut Purwa sedang berpergian dan Kakek Ametung tiba-tiba menculik Nenek Dedes untuk dinikahi. Puyut Purwa murka, beliau pun mengucap sumpah kepada siapapun yang menculik putrinya itu agar mati tertusuk keris dan mengutuk orang-orang Panawijen agar sumurnya kering kerontang karena mereka tidak memberitahu Puyut Purwa kalau Nenek Dedes diculik."

Greatest King [SINGHASARI]Where stories live. Discover now