20. Sepenggal Kisah Arjuno

2.9K 635 124
                                    

"Rajni, jika aku memilih untuk melepaskan takhtaku, maukah kau menjadi alasanku untuk tetap bersinar dari gelapnya bayang-bayang masa lalu?"

Tatapan mata kami yang masih terpaku satu sama lain dengan paksa kuhentikan. Aku mengalihkan pandanganku dan menelan ludah. "Jangan asal bicara, Ranggawuni."

"Aku serius, kupikir akan lebih baik jika aku kehilangan takhtaku daripada kehilanganmu," jawabnya tanpa ada keraguan sama sekali.

Sial, kenapa dia bisa dengan mudahnya berkata seperti itu?

Akal sehatku menolak mentah-mentah perkataannya, tetapi di dalam lubuk hatiku ada perasaan tersentuh yang tak dapat dijelaskan. Ranggawuni tidak mengalihkan matanya dariku, justru tatapannya semakin mengisyaratkan perasaan yang mendalam.

"Ranggawuni, kau adalah penerus takhta kerajaan ini. Kau tidak boleh seperti itu, kau harus menjadi pemimpin yang bijaksana dalam mengambil keputusan." Aku melepaskan tangannya dari pipiku dan berjalan menjauhinya. Namun, Ranggawuni mengejarku.

"Ada Mahesa Cempaka yang bisa menggantikanku, ia juga terampil dan bijak dalam memimpin," balasnya, "Rajni, kuharap pertanyaanku tadi tidak membebanimu."

"Tetap saja takhta ini adalah tanggung jawabmu, Ranggawuni. Kau tak boleh bersikap seperti ini, tidak perlu mengorbankan takhtamu jika kau ingin agar aku menjadi alasanmu untuk tetap bersinar."

Laki-laki di hadapanku terdiam, mencerna satu-persatu kata yang aku lontarkan untuknya. Dan aku hanya tersenyum melihatnya. Ranggawuni dengan terbata-bata berkata, "Jadi ... kau mau?"

Kuberikan sebuah anggukan untuknya. "Dengan tiga syarat."

"Apa?" tanggapnya penuh antusias.

"Pertama, aku ingin kau tetap bertanggung jawab atas takhtamu."

"Baik, lalu?"

"Kedua, aku ingin kau lebih terbuka lagi denganku," ucapku yang membuatnya mengernyitkan dahi, "Ranggawuni, setelah beberapa bulan tinggal di Tumapel, aku sadar bahwa dirimu yang kau tunjukkan kepadaku hanyalah sisi lain dari dirimu yang bersikap tegar. Kau bisa menceritakan apapun kepadaku jika kau ingin menceritakannya. Aku tidak akan memaksa, tetapi aku harap kau bisa lebih terbuka lagi."

Ia memelukku dengan sangat erat, tangannya melingkar di leherku. Ranggawuni menumpukan kepalanya di bahuku. "Aku akan menceritakannya, Rajni, aku janji. Tetapi beri aku waktu untuk memulainya."

"Iya, aku juga tidak akan memaksamu untuk terburu-buru."

"Lalu, apa syarat yang ketiga?" tanyanya, masih dengan kepala yang bertumpu di bahuku.

"Syarat yang ketiga adalah aku ingin kita membuat sebuah buku," kataku sembari mengusap punggungnya. Ah, tubuh Ranggawuni sangat proporsional, aku jadi tidak ingin melepaskan pelukannya.

Ranggawuni mengangkat kepalanya dari bahuku. "Buku? Untuk apa?"

Aku pun menjelaskan kepadanya kalau aku ingin membuat buku untuk menuliskan harapan dan impian kami. Di setiap harinya, aku ingin ada sebuah harapan yang tertuang di dalam buku itu. Ranggawuni setuju dengan syarat ketiga, ia bilang nantinya ia akan meminta kepada seorang pujangga untuk memberikannya kumpulan kulit kayu untuk dijadikan bahan membuat buku.

Kalau kalian bertanya-tanya apakah keputusan yang kuambil ini tepat atau tidak, sejujurnya aku tidak tahu. Lalu, kenapa aku mau menerima permintaan Ranggawuni? Jawabannya adalah karena aku tak bisa menolaknya. Munafik jika aku bilang aku tidak jatuh ke dalam pesonanya.

Di sisi lain, aku juga sadar diri dengan status dan keadaan kami sekarang. Ia akan dijodohkan dengan Jayawardhani dan hal itu sudah tercatat dengan mutlak dalam sejarah, terlebih lagi kami berasal dari dimensi waktu yang berbeda. Aku sadar betul bagaimana kisah ini akan berakhir.

Greatest King [SINGHASARI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang