31. Kita Bertemu Lagi

2.6K 593 157
                                    

Malang, 2020.

Menatap langit-langit asrama, aku harus membiasakan diri untuk tinggal di tempat ini selama beberapa tahun ke depan. Tiga hari yang lalu, aku kembali menginjakkan kakiku di Kota Malang untuk melanjutkan studiku di salah satu universitas yang ada di sini.

Romo menyuruhku untuk tinggal di asrama yang kebetulan dikelola oleh salah satu rekannya. Asrama ini terlihat unik, desainnya dari luar terlihat seperti bangunan tua bergaya rumah adat khas Jawa, sedangkan interior dalamnya terlihat sangat modern.

Asrama yang kutempati ini juga didominasi oleh para mahasiswa dari kampus yang sama denganku. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa baru yang kebetulan juga merantau. Selain itu, asrama ini adalah asrama campuran. Lantai dasar asrama diperuntukan untuk kamar para laki-laki dan lantai atas untuk perempuan.

Aku sudah berkenalan dengan beberapa penghuni asrama ini. Tetangga kamarku adalah seorang mahasiswa baru dari Kota Kembang—Bandung. Walaupun baru berkenalan selama beberapa hari, aku sudah dapat merasakan koneksi yang baik di antara kami.

Ponselku bergetar, ada pesan masuk dari romo rupanya. Aku membuka layar kunci ponselku, kemudian membalas pesan romo.

Romo:
Rajni, kamu jadi ke rumah Paman Guntur? Kalau jadi, kabari romo, ya.

Rajni Sekarajasapita:
Jadi, tapi mungkin aku akan ke sana nanti sore. Aku mau istirahat dulu.

Ya, hari ini aku berjanji untuk mampir ke rumah Paman Guntur. Romo menyuruhku untuk berkunjung ke sana sebab katanya tidak enak jikalau aku tidak menyambanginya di saat aku tengah berada di Malang. Nantinya aku juga berencana untuk mengunjungi Julius.

Setelah membalas pesan romo, aku malah keasyikan memainkan ponselku. Aku membuka aplikasi Instagram dan melihat-lihat postingan dari teman-temanku. Lini masaku dipenuhi oleh foto twibbon mereka yang kuduga merupakan bagian dari program ospek.

Jam menunjukkan waktu makan siang, tetapi aku belum merasa lapar karena pagi ini aku sarapan terlambat. Jemariku sibuk menggulirkan layar ponsel, perlahan aku pun mulai bosan. Kuputuskan untuk menaruh ponselku dan membuka laptop, aku ingin mencari informasi seputar wisata kuliner yang ada di Malang. Kangmas Panji bilang, kunci dari bertahan hidup di perantauan adalah mencari tempat kuliner yang cocok dengan kita.

Konon katanya, yang paling membuat rindu anak rantau dengan kota rantauannya adalah makanannya.

Berawal dari rencanaku untuk mencari tempat kuliner, aku malah kebablasan mencari hal-hal lain hingga tak terasa jarum jam sudah menusuk-nusuk angka tiga. Aku lekas bersiap untuk pergi ke rumah Paman Guntur, tetapi sebelum aku pergi ke sana, aku ingin mencari makan siang terlebih dahulu.

Tidak butuh yang lama untukku bersiap, hanya mencuci muka, mengganti pakaian, serta mengoleskan riasan yang tipis di wajah. Ketika aku hendak mengunci pintu kamarku dari luar kamar, seseorang menyapaku.

"Halo? Boleh kenalan?"

Atensiku yang semula tertuju pada lubang kunci pun teralihkan kepadanya. Aku reflek menutup mulutku ketika melihat siapa sosok yang menyapaku.

Dengan tergagap-gagap, aku membalas, "H-hai? Boleh kok."

Ia tersenyum, terakhir aku melihatnya adalah ketika ia sedang menangis. Akan tetapi, melihat betapa sumringahnya senyum yang terukir di wajahnya, aku rasa ia tidak mengingat apapun tentang masa lalunya. "Namaku Rina, statusku masih mahasiswa baru. Kalau kamu?"

Ya, ialah reinkarnasi dari jiwa Jayawardhani.

"Aku Rajni, mahasiswa baru juga."

"Wah, nama kita mirip, ya!" sahutnya dengan riang, "aku menempati kamar di sebelahmu, semoga kita bisa berteman dengan baik, ya!"

Greatest King [SINGHASARI]Where stories live. Discover now