18. Lima Piring

2.7K 635 89
                                    

Tak pernah terbayang dalam pikiranku jika hujan akan menjadi hal yang sangat menakutkan. Suara amarah gemuruh di tengah gelapnya malam dan derasnya air yang jatuh mengguyur tanah membuatku terjaga malam ini.

Aku terbangun dari tidurku karena suara hujan yang begitu keras. Ingin rasanya aku berlari ke kamar Kangmas Panji dan berlindung di balik pelukan kangmasku, tetapi apa daya semua obor yang terpasang di rumah ini sudah dimatikan sejak beberapa jam yang lalu. Tidak ada penerangan sama sekali, hanya cahaya rembulan dari sela jendela saja yang menerangi.

Kuusap perlahan kulit tubuhku yang kedinginan. Tidak ada selimut yang bisa kugunakan untuk menghangatkan tubuhku. Petir yang saling bersahutan kian meramai, menambah rasa takut yang menyelimutiku.

Sejak kecil aku tidak menyukai hujan. Jika hujan yang turun hanyalah gerimis kecil, aku tidak masalah. Tetapi kalau hujan deras seperti ini, aku tidak menyukainya. Semakin deras hujan yang turun, semakin aku tidak suka. Namun, pandanganku berbeda dengan Nebula. Sahabatku itu justru sangat menyukai hujan.

"Rajni, aku senang banget kalau hujan turun."

"Apa yang bikin kamu senang dengan hujan, Nebula?"

"Aku senang karena aku gak perlu siram tanaman di kebun, biar air hujan yang menyirami mereka. Kalau kamu sendiri gimana, Raj? Apa kamu suka hujan?"

"Enggak, aku gak suka. Soalnya suara hujan berisik, apalagi kalau ada petir!"

"Walaupun berisik, hujan itu menenangkan. Kamu bisa menangis sekeras apapun tanpa ada yang mendengarnya dan kamu juga bisa menangis sederas apapun tanpa ada yang melihat air matamu turun."

Kalimat yang diucapkan Nebula saat kami tengah berteduh di sebuah halte dekat sekolah kembali terputar di kepalaku. Ia benar, hujan seharusnya menenangkan. Namun, kenapa justru yang kurasakan adalah ketakutan?

Aku duduk sembari memeluk lututku, berupaya untuk membentengi diri dari dinginnya malam. Kepalaku tiba-tiba terasa pusing dan berat, mataku seketika berkunang-kunang.

Bayang-bayang samar seorang kakek berdiri tak jauh dari ranjangku. Kakek itu tersenyum, lama-lama bayangannya terlihat semakin nyata. Aku mencubit pipiku, memastikan apakah aku tengah bermimpi atau tidak.

Tidak, ini bukan mimpi ....

Mataku dan mata kakek itu bertemu, tersirat ketenangan dari sorot matanya. Aku berusaha untuk memejamkan mata, tetapi suara yang tak asing membuatku membuka mata lebar-lebar.

"Rajni?"

Badanku bergetar hebat. Ya, suara itu adalah suara yang selama ini kurindukan. Suara bariton milik Nebula yang dulu selalu aku dengar setiap harinya. Aku mengamati sekeliling, berusaha mencari sosok Nebula di tengah kegelapan. Nihil, hanya bayang-bayang kakek tua itu saja yang terlihat.

"Di mana Nebula?" tanyaku kepada kakek itu, tetapi beliau tidak menjawabnya. Justru Nebula lah yang membalasnya.

"Rajni! Aku di sini! Aku di depanmu!"

Tanpa keraguan aku bangkit dari ranjang dan meraba-raba segala hal yang ada di depanku, berharap tangan hangat milik Nebula dapat kutemukan. "Nebula, aku gak bisa lihat kamu."

Buliran air mata perlahan turun membasahi pipiku. Di mana Nebula? Kenapa hanya suaranya saja yang dapat aku dengar? Dan siapa kakek itu?

Gemuruh semakin mempertegas amarahnya. Berkali-kali aku mencoba memanggil nama Nebula, tetapi tetap saja ia tak ada di sini. Mungkinkah aku berhalusinasi karena merindukannya? Mungkinkah suara yang kudengar tadi hanya ada di pikiranku?

Malam itu kuhabiskan dengan menangis di bawah bulan. Ditemani derasnya hujan dan dinginnya embusan angin malam yang menusuk kulit.

🗡️🗡️🗡️

Greatest King [SINGHASARI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang