33. Please Try Again

3K 528 111
                                    

Sore ini aku dan Reno akan pergi bersama. Katanya, ia mau mengajakku menikmati indahnya Malang Raya di malam hari. 

"Udah selesai belum rapi-rapinya?" Reno yang sedari tadi menunggu di ambang pintu kamar asramaku bertanya. Karena kami tinggal di asrama yang sama, mudah bagi kami untuk berinteraksi satu sama lain. Terhitung hari ini adalah minggu ketiga kami saling mengenal. Aku dan Reno menjadi dekat, tetapi hubungan kami masih mengawang.

"Sebentar lagi, aku pakai parfum dulu," jawabku sambil menyemprotkan parfum ke kemeja yang aku kenakan. 

Kemeja kotak-kotak berwarna merah muda yang aku pakai hari ini adalah pemberian Kangmas Panji ketika aku berulang tahun yang ke-17 tahun. Sebenarnya aku jarang memakai kemeja ini, tetapi karena Reno memintaku untuk memakai kemeja warna merah, aku pun memakainya. 

Ya, hari ini kami sengaja memakai kemeja yang seirama.

Ketika aku dan Reno hendak menuruni tangga, Rina menyoraki kami dari lantai dasar, "Mau ke mana nih? Dari kemarin jalan berdua mulu." 

"Mau malam mingguan dong, gak kayak kamu yang malam minggu cuma diam di asrama aja," ledek Reno, membalas sorakan sang adik. Aku sempat terperanjat mendengarnya, ini bukan pertama kalinya aku mendengar kedua kakak beradik itu saling meledek satu sama lain. Hanya saja kali ini ledekan Reno terdengar berbeda di telingaku.

"Iya deh, kudoakan semoga cepat resmi, ya," kata Rina sambil berjalan menuju dapur asrama. Ah, aku belum memberi tahu kalian, ya? Yang tahu tentang kejadian di Tumapel hanya Reno saja. Kami sepakat untuk tidak memberi tahu Julius, Rina, dan yang lainnya tentang hal itu sebelum Reno mampu mengingat kembali kehidupan lampaunya.

Di parkiran asrama, Reno memakaikan helm milik Rina di kepalaku, tetapi ia memakaikannya terbalik sehingga wajahku tertutup oleh bagian belakang helm. "Reno! Masa aku pakai helm terbalik gini sih? Kamu mah jangan aneh-aneh deh!"

"HAHAHAHA, iya maaf. Sini aku benerin lagi helmnya." Ia melepas helmku dan hal tersebut membuat rambutku yang sudah tersisir menjadi berantakan. Kemudian, Reno kembali memakaikannya dengan benar. "Nih, udah bener helmnya."

"Gara-gara kamu rambutku jadi berantakan!" gerutuku seraya mengaca di kaca spion. 

Pelaku yang memasangkan helmku itu tertawa lagi, ia sepertinya puas sekali mengerjaiku. Kami pun berangkat dari asrama menuju tempat tujuan. Aku tidak tahu ke mana Reno akan membawa kami pergi, yang jelas ia bilang kalau tempat yang akan kami kunjungi nantinya tidak akan mengecewakan.

Jalanan di Malang sore ini terpantau ramai lancar. Di beberapa titik memang sempat terjadi kemacetan, tetapi hal itu tak berlangsung lama. Saat menunggu lampu merah, Reno berkata, "Rajni, kamu tuh mirip lampu merah ya."

"Hah? Maksudnya?" balasku dengan suara yang sedikit keras karena bisingnya kendaraan yang lewat.

"Iya, kamu mirip lampu merah. Tiap lihat kamu, aku jadi mau berhenti mulu." Sontak aku mengetuk helmnya dari belakang. Bisa-bisanya dia menggombal seperti itu di tengah padatnya kendaraan yang sedang menunggu lampu merah. 

Ide cemerlang tiba-tiba muncul setelah mengetuk helmnya, aku pun berinisiatif untuk membalas gombalannya. "Kalau kamu tahu gak persamaannya kamu sama helm?"

"Hmm, apa ya? Gak tahu. Memangnya apa?" Reno membalas dengan nada khas seperti orang yang tengah digombali.

"Sama-sama bikin aku merasa aman," jawabku percaya diri. Reno tertawa terbahak-bahak sampai-sampai beberapa pengendara motor menengok ke arah kami. Untungnya, beberapa detik kemudian lampu merah berubah menjadi kuning dan hijau sehingga Reno bisa langsung memacu motornya.

Tiga puluh menit menghabiskan perjalanan di atas motor, tibalah kami di sebuah kafe. Pernak-pernik menghiasi setiap sudut kafe, banyak sekali kawula muda yang datang ke kafe ini. Pemandangan yang disajikan di kafe ini cukup unik. Banyak bukit yang terlihat dari sini. Kafe Bukit Delight Malang, itulah nama tempat ini.

Greatest King [SINGHASARI]Where stories live. Discover now