14. Mawangsit

2.9K 674 86
                                    

"Kalau Nara kapan mau menyusul? Ayahanda pikir kau sudah menemukan pasangan yang cocok untuk berumah tangga."

Senyum kecut ditunjukkan oleh Mahesa Cempaka pasca mendengar godaan sang ayah. Ia memalingkan wajahnya dan berkata, "Ayahanda, pernikahan bukanlah hal yang mudah. Aku belum siap untuk berada di jenjang itu."

"Tapi cepat atau lambat kau harus menikah dan memberikan keturunan untuk takhtamu kelak, Nara," sahut Jayawardhani, "Aku dan Kanda Ranggawuni akan menikah setelah kalian dilantik karena Tumapel sudah menunggu kelahiran yuwaraja-nya."

Yuwaraja, sebutan untuk putra mahkota atau raja muda.

Aku dan Kangmas Panji memilih untuk tidak bersuara dan membiarkan keluarga itu membicarakan urusannya sendiri. Sejujurnya aku sangat tidak nyaman berada di sini, rasanya aku ingin cepat-cepat kembali ke rumah Panji Patipati dan tidur. Namun, tadi Paman Wongateleng bilang kalau kami baru dapat pulang usai makan malam. 

Langit yang semakin menggelap memaksa kami untuk segera masuk ke istana. Aku dan Kangmas Panji diminta untuk menunggu di ruangan besar yang dikhususkan untuk menjamu para tamu. 

"Kangmas kenapa deh tadi diam gitu? Habis lihat apa? Gak kesambet kan?" serbuku kepada kangmas.

"Hush! Sembarangan mulutmu, minta dicaplok buaya, ya?" Matanya melotot dan menatap tajam ke arahku. "Kangmas tuh lagi males ngomong, Raj. Lagi mode aktif."

Pasti melelahkan sekali menjadi Kangmas Panji, ia sangat mudah kelelahan jika kemampuan mawangsit-nya sedang aktif dan kepekaannya akan bertambah. "Oh, kirain kesambet. Omong-omong aku penasaran, kenapa Kangmas minta aku untuk gak dekat-dekat dengan mereka?"

Mereka yang kumaksud adalah Mahesa Cempaka dan Jayawardhani. Kangmas Panji mendekatkan mulutnya dengan telingaku dan berbisik, "Kangmas gak mau kamu terseret ke masalah yang lebih besar lagi, Raj."

"Masalah apa?" tanyaku seraya menggaruk tengkuk kepala.

"Entah. Lihat nanti aja."

Kebiasaan deh Kangmas Panji kalau memberi informasi cuma setengah-setengah! Bikin aku penasaran saja! Seorang dayang menghampiri kami dan menuntun kami ke ruang makan malam. Di sana tidak terlalu banyak orang, hanya ada keluarga kerajaan dan beberapa prajurit yang berjaga di dekat pintu saja.

Acara makan malam berlangsung dengan cepat karena Ranggawuni meminta izin undur diri lebih dahulu. Oleh karena itu, aku, Kangmas Panji, dan Ranggawuni pulang lebih awal daripada Mahesa Cempaka dan Jayawardhani yang masih berada di istana bersama keluarganya.

"Panji, kalau kau tidak nyaman berada di sana katakanlah dengan jujur. Jangan menyiksa dirimu sendiri seperti itu," kata Ranggawuni sebelum ia menaiki pedati.

Perkataannya berhasil membuatku dan kangmas terdiam karena bingung. Apa maksudnya? Jangan-jangan Ranggawuni sudah tahu tentang kemampuan mawangsit Kangmas Panji? Tapi sepertinya tidak mungkin ia tahu karena kangmas tak pernah membeberkannya. Seandainya Ranggawuni benar-benar mengetahuinya, aku yakin ia juga memiliki kemampuan itu—sama seperti Kangmas Panji.

"Gak jelas deh dia," ucapku pada akhirnya, menanggapi perkataan Ranggawuni tadi.

"Jelas kok," jawab Kangmas Panji, "mungkin sikapku tadi terlihat berbeda dari biasanya, makanya dia ngomong gitu."

Masuk akal sih, toh memang selama kami di istana tadi kangmas cukup jarang bersuara, sangat berbeda dengan kepribadiannya yang banyak bicara. Kangmas Panji mengamati sekitar, matanya mencermati apapun yang dilihatnya. Bagi orang yang tidak tahu, mungkin mereka akan berpikir bahwa kangmas sedang melihat-lihat pemandangan yang dijumpai sepanjang perjalanan, padahal sebenarnya kangmas sedang melihat "sisi lain" dunia yang tidak semua orang bisa melihatnya.

Greatest King [SINGHASARI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang