19. Rencana Kangmas

2.8K 683 165
                                    

"Nih, nanti siang antar ini ke istana, ya!" Kangmas Panji menaruh sebuah surat di atas meja kamarku.

Dari atas ranjang, aku melirik surat tersebut. "Untuk siapa?"

"Ranggawuni," balasnya sembari ikut merebahkan dirinya di ranjangku, "tapi kamu jangan coba-coba baca isinya, ya! Awas aja kalau kamu baca."

"Kalau Kangmas bilang gitu, aku malah jadi makin penasaran," kataku dengan jujur. Bukankah naluri manusia memang begitu? Semakin dilarang, semakin penasaran. "Lagian kenapa gak Kangmas aja yang ngasih langsung ke dia?"

Kangmas Panji mengacak-acak rambutku dan menjawab, "Gak bisa, aku harus bantu Panji Patipati membersihkan halaman belakang."

Aku mengembuskan nafas kasar, sejujurnya aku tak mau pergi ke istana karena terlalu malas untuk melangkah ke sana. Jalanan yang harus kulalui untuk tiba di istana bisa dibilang kurang bersahabat untuk pejalan kaki. "Terus nanti aku ke istana naik apa?"

"Aku udah bilang ke Ranggawuni untuk jemput kamu kok," ucap kangmas santai.

"Oh gitu, ya udah deh. Eh, kalau begitu kenapa nanti suratnya gak langsung dikasih ke jemputannya aja? Kan aku jadi gak perlu repot-repot ke istana."

Kangmas menengok dan memutar bola matanya. "Gak sopan, Rajni! Walaupun kita dekat dengan dia, kita juga harus tahu sopan santun. Ranggawuni itu calon maharaja."

Hidungku terasa gatal karena mau bersin. Calon maharaja, ya? Membayangkan Ranggawuni memakai mahkota maharaja dan memimpin Tumapel membuat bulu kudukku berdiri. Aku terkekeh, bagaimana jadinya Tumapel dibawah kepemimpinannya?

Pagi ini semua berjalan seperti biasa sampai sebuah pedati datang untuk menjemputku. Berbekal surat yang dititip oleh Kangmas Panji, aku berangkat menuju istana. Udara siang ini terasa panas, tetapi langitnya tidak secerah hari-hari sebelumnya. Mungkin karena memasuki musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau.

"Terima kasih banyak." Aku membungkuk dan berterima kasih kepada sang pengemudi pedati yang telah mengantarku, lalu berjalan ke arah pintu masuk istana.

Tumben sekali tidak ada dayang yang menyambutku, biasanya pihak istana telah menyiapkan dayang-dayang untuk menyambut para tamu yang akan datang. Netraku tak menemukan satu pun sosok yang kukenali, aku menyusuri sisi istana, berusaha untuk mencari Ranggawuni. Nahas, bukannya Ranggawuni yang kutemui, tetapi malah Pranaraja dan seorang prajurit di belakangnya.

"Kau Rajni, ya? Ada keperluan apa datang ke sini?" tanya Pranaraja yang rupanya melihat keberadaanku.

"Iya, aku Rajni. Aku ada keperluan dengan Ranggawuni, bisakah aku menemuinya?"

Pranaraja mengangguk dan membalas, "Tentu saja. Mari, biar kuantarkan."

Aku mengikuti langkah Pranaraja. Ia menuntunku menuju sebuah ruangan besar dengan penjagaan yang sangat ketat. Banyak prajurit yang berjaga di sekitar ruangan itu. Aku tebak, pasti ini adalah ruangan Ranggawuni! Di Wilutan, ruangan kakekku juga memiliki penjagaan yang ketat seperti ini.

Ketika pintu dibuka, sosok Ranggawuni yang terduduk di kursinya adalah hal pertama yang menarik perhatianku. Ia terlihat terkejut mendapati kehadiranku bersama Pranaraja.

"Ada tamu yang datang untuk bertemu denganmu, Tuan." Pranarja membungkuk hormat dan melirik ke arahku.

"Terima kasih sudah mengantarnya ke sini, Pranaraja," balas Ranggawuni tanpa menoleh sedikitpun. Tatapannya terkunci pada lontar yang ada di atas mejanya.

Hening, tak ada yang bicara setelahnya. Baik aku maupun Pranaraja sama-sama diam di tempat kami berdiri. Beberapa menit berlalu dan keadaan tidak berubah. Aku mulai merasa tidak nyaman karena kecanggungan ini. Tiba-tiba Ranggawuni berdiri dari tempatnya duduk.

Greatest King [SINGHASARI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang