8. Who Are You?

3.1K 682 67
                                    

"Jadi, kamu bangsawan dari negeri mana?" Ranggawuni melontarkan pertanyaan itu sembari menatapku dan Mahesa Cempaka tajam. Sorot matanya seperti elang yang tengah bersiap memangsa.

Alih-alih menjawabnya, aku balik bertanya kepadanya, "Sejak kapan kau ada di situ?"

"Apakah penting untukmu mengetahuinya?" balasnya seraya berjalan mendekati kami, "jawab saja pertanyaanku. Kau dari negeri mana?"

"A—aku ... aku dan Kangmas Panji berasal dari sebuah negeri yang jauh dari sini," jawabku dengan terbata-bata. Namun, jawabanku justru membuat Mahesa Cempaka ikut terjun ke dalam percakapan yang tak aku inginkan ini.

"Apa nama negerimu, Rajni?" tanya Mahesa Cempaka tanpa ada emosi yang ditekankan, tidak seperti Ranggawuni.

"Wilutan, aku berasal dari sana." Pada akhirnya aku memilih untuk jujur tentang asal-usulku. Sengaja aku menjawab kalau aku berasal dari Wilutan, setidaknya nama tempat itu masih terdengar cocok di masa ini. Jika aku bilang ke mereka kalau aku berasal dari Ponorogo, bisa-bisa mereka akan semakin bertanya-tanya. Dan jika aku bilang kalau aku berasal dari Wengker, mereka mungkin akan mengirim seorang mata-mata untuk mencari tahu seluk-beluk kami di sana!

Alis Ranggawuni yang naik sebelah sudah cukup untuk menggambarkan ketidakpercayaannya kepadaku. Ya Tuhan, tolong selamatkan aku dari situasi ini!

"Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya. Namun, aku harus memastikan hal ini. Kau dan Panji keturunan dari Nenek Dedes atau Nenek Umang?" Pertanyaan Ranggawuni tersebut berhasil memeras otakku.

Keturunan dari Nenek Dedes atau Nenek Umang?

Beruntung Mahesa Cempaka sempat bercerita tentang silsilah keluarganya kepadaku tadi. Jadi, aku mengenal dua nama yang disebut oleh Ranggawuni. Akan tetapi, aku tidak punya jawaban untuk menjawab pertanyaan. Toh, yang kutahu hanyalah aku dan keluargaku memiliki garis keturunan wangsa Rajasa dari Wijayarajasa—sang Bhre Wengker.

Karena aku tak kunjung menjawabnya, Ranggawuni melanjutkan kalimatnya, "Ada kata 'Rajasa' di dalam gelarmu. Tidak mungkin kau dapat memiliki nama itu kalau kau bukanlah keluarga kerajaan."

Oh iya, benar juga. Otakku sibuk memikirkan jawaban untuk membalas pertanyaannya. Duh, aku harus bagaimana? Kerajaan Wilutan kan memiliki hubungan kekerabatan erat dengan Kerajaan Majapahit, sedangkan saat ini aku sedang berada di masa Kerajaan Singhasari yang tak lain memiliki rentang waktu lebih dahulu daripada Majapahit. Kalau aku menjawab bahwa aku dan Kangmas Panji berasal dari garis keturunan Wijayarajasa, pasti mereka akan bertanya, "Siapa itu Wijayarajasa?"

Lagi pula saat ini wangsa Rajasa baru saja didirikan. Pilihannya hanya ada dua, menjawab dari garis Ken Dedes atau Ken Umang! Tetapi, aku tetap tidak berani menjawab karena aku takut hal tersebut malah akan menyudutkan posisiku dan Kangmas Panji mengingat betapa sensitifnya masalah silsilah di dalam keluarga ini.

"Kau suruhan Paman Tohjoyo, kan?" tuduh Ranggawuni dengan suara yang tegas.

"Bukan! Aku bukan suruhan Paman Tohjoyo! Demi Tuhan aku bukan suruhannya!" Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku tidak suka ada di posisi ini. Mata Ranggawuni dan Mahesa Cempaka yang menatap ke arahku membuatku takut. 

Aku harus bagaimana?

Seakan-akan Tuhan mengirim malaikat pelindung untukku, Kangmas Panji dan Panji Patipati datang. Kangmas yang melihat butiran air mata menggenang dan perlahan turun membasahi pipiku pun langsung memelukku. Ia berbisik lirih, menanyakan apa yang baru saja terjadi sampai-sampai aku menangis. Aku menjelaskan kepadanya tentang pertanyaan yang dilontarkan Ranggawuni.

Emosi Kangmas Panji tersulut, aku mencoba untuk menenangkannya. Ranggawuni lagi-lagi mengulang pertanyaannya yang belum terjawab itu. "Panji, ada kata 'Rajasa' di dalam gelar adikmu. Jawablah dengan jujur, kalian berasal dari garis keturunan siapa?"

Greatest King [SINGHASARI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang